Di postingan ini, saya akan membagikan tulisan saya saat mengerjakan tugas mingguan untuk mata kuliah Misiologi yang dulu diampu oleh Ibu Hibur. Berikut tulisan saya:
Bermisi di Tengah Kebudayaan ‘Raja Huta dan Kekuasaannya’ Di Tapanuli Utara
Raja Huta dan Kekuasaannya
di Tapanuli Utara
Sudah menjadi fakta, bahwa sebagai salah satu suku terbesar di Indonesia, suku Batak memiliki beragam kebudayaan yang sampai saat ini masih dipertahankan. Satu dari kebudayaan tersebut adalah keberadaan Raja Huta. Raja Huta adalah tokoh yang sangat berpengaruh di suatu huta atau kampung. Banyak peran yang ia kerjakan, seperti memimpin upacara atau kegiatan adat, memimpin rapat huta, dan sebagainya. Kendati kini sudah ada jabatan kepala desa di setiap desa, tak bisa dinafikan bahwa sampai saat ini kekuasaan raja huta tetap eksis. Raja huta, yang biasanya adalah para sisuan bulu atau orang-orang pertama yang datang di suatu desa tertentu, bahkan pertama sekali membuka permukiman di desa tersebut. Oleh para penduduk yang datang kemudian, raja huta sangat dihormati dan diakui otoritasnya atas suatu huta atau desa.
Bungaran Simanjuntak menyebutkan, bahwa dalam kebudayaan Batak, raja huta adalah salah satu dari beberapa tokoh yang diyakini memiliki sahala. Sahala adalah sesuatu yang diturunkan kepada seseorang, yang sifatnya lebih dari kebijaksanaan semata. Sahala inilah yang kemudian ‘mensugesti’ orang-orang di sekitar untuk hormat dan ‘segan’ kepada seorang yang memiliki sahala tersebut. Sudah barang tentu, dengan sahala yang dimilikinya, seorang haja huta akan banyak disegani dan dihormati oleh orang-orang di dalam desa. Beberapa kasus, seperti yang terjadi di beberapa desa di Tapanuli Utara, kekuasaan seorang raja huta sangat berpengaruh. Bahkan, seorang raja huta oleh otoritasnya, bisa mengintervensi kehidupan pribadi orang-orang di dalam desa.
Misi Gereja dan Kebudayaan
Menurut Olaf Schumann, tugas bermisi atau melakukan misi adalah dipercayakan oleh Allah kepada Gereja, sebagai komunitas yang berlatar-belakangkan kebudayaan. Gereja diutus untuk melanjutkan tugas apostolik yang dulu dialihkan kepada para rasul. Jadi, pengutus utama adalah Allah sendiri, bukan gereja. Dijelaskan oleh Schuman, Allahlah yang kemudian mengutus Gerejala untuk menjadi teman sekerja-Nya, dalam hal ini melakukan misi. Oleh karena perintah Allah tersebut, gereja kemudian harus menjadi gereja yang missioner, yang terus berjuang untuk menegakkan Injil di bumi. Misi harus nampak sebagai bagian dari hakekat gereja, karena gereja diutus ke dalam dunia untuk mendirikan dan memperlihatkan tanda-tanda kehadiran Allah.
Di ‘lapangan’ misi gereja bertemu dengan kebudayaan yang beragam dari orang-orang yang ada di bumi. Tak terkecuali, kebudayaan Batak. Mau tak mau, gereja dengan Injil yang dibawa harus mempertemukan dirinya dengan kebudayaan Batak. Tentu saja ada pertentangan antara nilai yang diwarisi oleh Gereja dengan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak itu sendiri. Tidak semua nilai budaya Batak dapat disamakan dengan nilai Injil yang diwarisi oleh Gereja. Di satu sisi nilai-nilai budaya dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai Injil. Artinya nilai-nilai Injili dapat diungkapan melalui nilai-nilai budaya, sehingga nilai budaya tersebut menjadi lebih luhur. Istilah yang populer untuk hal ini adalah “inkulturasi”.
Perjumpaan Raja Huta dan Misi Gereja
Seperti diutarakan sebelumnya raja huta adalah tokoh yang memiliki otoritas kekuasaan yang tinggi. Banyak aspek kehidupan di suatu desa dipengaruhi oleh seorang raja huta. Pengaruh tersebut bisa bertemu dengan gereja yang hendak membawa misinya. Pertemuan tersebut boleh menjadi pertemuan yang saling menerima, atau bisa saja menjadi pertemuan yang di dalamnya terdapat penolakan dari suatu pihak.
Artinya, oleh otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya, didukung dengan paradigma orang-orang di desa yang menghormati sahala raja huta tersebut, seorang raja huta boleh saja memengaruhi orang-orang di desa untuk mengikuti atau tidak mengikuti anjuran gereja yang ada di desa tersebut. Dengan kata lain, raja huta boleh saja menjadi penghambat bagi terlaksananya pelayanan misi gereja. Hal ini diutarakan secara gamblang, karena beberapa kasus di gereja-gereja, khususnya HKBP, memperlihatkan bagaimana beberapa raja huta cenderung menyalahgunakan otoritasnya.
Salah satu contoh kasus, ada seorang raja huta yang bukan merupakan anggota jemaat dari suatu gereja yang ada di desanya memboikot kegiatan pelayanan gereja dan bahkan mempropaganda orang-orang di desa, yang juga anggota jemaat untuk tidak ikut dalam kegiatan tersebut. Boikot dilakukan oleh raja huta bukan karena adanya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, tetapi karena ada sentimen pribadi yang dimiliki oleh raja huta terhadap pemimpin di gereja. Ia pernah sakit hati oleh perkataan dari pimpinan jemaat di gereja tersebut. Kasus semakin diperparah karena tidak ada satu pun dari antara anggota jemaat yang kritis, yang dapat melihat secara jernih persoalan yang ada, dan cenderung terlalu menghormati raja huta secara mutlak. Dari kasus ini, terlihat bahwa perjumpaan otoritas raja huta dan gereja adalah negatif. Dalam hal ini, raja huta tersebut akan menghambat pelayanan gereja, terutama pelayanan misi.
Di sisi lain, ada suatu kasus yang berlawanan dengan kasus pemboikotan kegiatan gereja tadi. Kasus ini terjadi saat raja huta diberdayakan oleh gereja untuk bekerja sama, terutama dalam melaksanakan misinya. Seorang raja huta diajak oleh pemimpin gereja untuk menjadi salah satu penatua di gereja, dan ikut terlibat dalam pelayanan misi gereja. Dengan suatu pendekatan tertentu, raja huta dan gereja saling bekerja sama, sehingga tidak ada kemungkinan bagi raja huta untuk sewenang-wenang dalam bertindak di dalam gereja. Kasus tersebut menjadi lebih menarik, ketika dalam suatu desa, masih ada sekelompok orang yang belum mengenal injil, serta terdapat orang-orang yang tergolong lemah, yaitu para janda tua yang tak bisa bekerja lagi, para yatim atau piatu yang bekerja untuk menghidupi adik-adiknya. Lalu, gereja dengan sigap bekerja sama dengan raja huta untuk mempersiapkan pelayanan kepada mereka, sehingga raja huta tersebut ikut terlibat aktif pelayanan misi gereja. Dari kasus ini, terlihat bahwa terjadi perjumpaan yang positif antara gereja dan misinya dengan raja huta.
Selain kedua kasus yang berlawanan di atas, ada satu kasus lagi yang melibatkan gereja dan raja huta. Mirip dengan kasus kedua, di mana ada seorang raja huta di suatu desa yang terlibat sebagai anggota majelis jemaat gereja di desa tersebut. Hanya, saja, oleh karena statusnya, sang raja huta kerap kali sewenang-wenang, memaksakan kehendaknya kepada anggota majelis jemaat lainnya. Banyak keputusan yang diambil oleh pimpinan jemaat, hanya untuk menyenangkan hati raja huta tersebut. Hanya karena tak sesuai dengan pendapat sang raja huta, gereja kemudian terjerumus, mengorbankan pelayanan misi kepada seorang keluarga, anggota jemaat di gereja tersebut, yang kebetulan memiliki hubungan yang tidak baik dengan sang raja huta. Dalam kasus ini, gereja menjadi picik, dan terkesan ada di bawah kendali sahala raja, di bawah otoritas raja, di bawah kekuasaan, dan keputusannya.
Dari ketiga contoh kasus di atas, maka hubungan yang hendaknya terjadi antara gereja dan misinya dengan raja huta, adalah hubungan yang digambarkan oleh contoh kasus kedua. Dari ketiga kasus tersebut, ada beberapa hal yang dapat dipelajari dalam hal hubungan misi gereja dengan raja huta. Pertama, gereja juga harus memiliki sahala. Sebagaimana seorang raja huta memiliki sahala, sudah sepatutnya gereja juga demikian. Artinya, gereja harus dapat berdiri, menunjukkan kebenaran, dan tidak terkekang oleh sahala, keputusan, otoritas raja huta. Kedua, gereja juga harus mempertimbangkan sahala raja huta. Meskipun hal kedua ini kesannya berlawanan dengan hal pertama, sebenarnya tidak. Dengan kata lain, satu sama lain harus mengakui sahala masing-masing. Gereja tak boleh mengabaikan raja huta begitu saja. Sebaliknya pun demikian, raja huta tak boleh sewenang-wenang terhadap gereja. Tentunya, harus ada pendekatan dan perjumpaan yang positif antara gereja dan raja huta agar dapat melahirkan hubungan yang digambarkan oleh kasus kedua tadi.
Maka bagi gereja, alih-alih langsung mengabaikan raja huta, ada baiknya jika gereja lebih memilih opsi untuk melakukan pendekatan dan perjumpaan kepada raja huta tersebut. Dalam hal ini, gereja boleh meniru apa yang dilakukan oleh Nommensen di tanah Batak. Ia tidak menyingkirkan seorang raja huta. Ia malah bekerja sama dengannya, untuk melancarkan pelayanan misinya.
Raja Huta dan misi Gereja di Tapanuli Utara
Tak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di sekitar Tapanuli Raya, otoritas raja huta juga cukup mentereng di sekitar Tapanuli Utara. Kepatuhan, dan penghormatan menjadi salah dua hal yang dipersembahkan oleh penduduk desa kepada seorang raja huta. Sangat terasa pengaruh yang dihadirkan oleh raja huta tersebut. Keputusannya sangat menentukan. Namun sayangnya, dalam beberapa kasus di Tapanuli Utara, hubungan misi gereja dan para raja huta cenderung mengarah pada apa yang digambarkan oleh kasus pertama tadi, di mana ada percekcokan antara raja huta dan pelayan gereja sehingga menghadirkan hubungan yang tidak sehat.
Dalam bentuk lain, yang agaknya mirip dengan bentuk boikot, banyak pesta adat di daerah Tapanuli Utara, yang oleh otoritas dan pengaruh raja huta harus tetap dilaksanakan pada hari Minggu. Secara tidak langsung, pelaksanaan adat di hari Minggu tersebut telah menjadi bentuk boikot yang dilakukan oleh raja huta terhadap kegiatan ibadah minggu yang dilakukan di gereja. Secara mendasar, pesta adat di hari Minggu tentu telah melanggar salah satu titah Allah. Selain itu, dengan adanya pesta di hari Minggu tersebut, akan semakin terkikis intensitas kebersamaan antara jemaat gereja dengan Tuhannya, terutama bagi gereja yang hanya melaksanakan ibadah Minggu sekali dalam seminggu.
Contoh di atas masih salah satu dari banyak kasus lain yang menunjukkan kuasa raja huta. Sebagaimana dijelaskan tadi, otoritas raja huta di daerah Tapanuli Utara masih terkesan bertentangan dan berseberangan dengan gereja. Otoritas raja huta tersekan menangtang gereja, terlepas dari baik atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh gereja. Dalam hal hubungannya dengan pelayanan misi gereja, otoritas raja huta menghambat mobilitas pelyanan misi di suatu gereja. Kasus yang mirip dengan contoh kasus pertama di atas, banyak terjadi di daerah Tapanuli Utara, yang semakin memperlihatkan pertentangan tersebut.
TANGGAPAN KRITIS: MENUJU HUBUNGAN YANG SEHAT
Bagi saya, bukanlah suatu pilihan yang ideal bagi gereja untuk begitu saja mengabaikan, tidak memperdulikan keberadaan raja huta, termasuk dalam pelayanan misinya. Selain dapat memicu perpecahan di dalam gereja (yang disebabkan oleh raja huta yang sakit hati karena diabaikan oleh gereja – yang kemudian mempropaganda warga untuk menentang gereja), mengabaikan raja huta, akan memberi kesan seolah gereja acuh tak acuh terhadap kebudayaan Batak, di mana raja huta adalah termasuk bagian dari kebudayaan tersebut. Selain itu, gereja akan terkesan ingin tampil sendiri. Padahal, jika ada perjumpamaan dan kerja sama yang baik antara gereja dan raja huta, saya pikir tak tertutup kemungkinan bagi pelayanan misi yang dikerjakan secara bersama-sama oleh gereja dan raja huta. Keterlibatan raja huta tentu akan membantu percepatan pelayanan misi gereja. Salah satu contoh konkret, seorang raja huta tentu sudah paham betul medan dan situasi, dan informasi yang ada di desanya, seperti misalnya, informasi tentang jumlah warga yang tergolong miskin, warga yang tertimpa bencana, dan lainnya. Tentu, jika melibatkan raja huta untuk membantu pelayanan misi kepada orang-orang di desa yang dipimpin oleh raja huta tersebut, tentu gereja akan sangat membantu.
Oleh karenanya, saya sangat menawarkan model hubungan seperti yang dibahas di atas. Menurut saya, iklim pelayanan di suatu gereja yang ada di desa tertentu, pasti akan lebih sehat jika melibatkan orang yang paham betul dengan keadaan dan kondisi yang ada di desa tersebut. Seperti yang saya tawarkan tadi, Nommensen telah memberikan contoh konkret tentang kekuatan sebuah pelayanan misi, jika melibatkan orang yang mahir dan paham betul tentang kondisi tempat, dan orang-orang yang akan dilayani tersebut.
0 Komentar