Pada saat kuliah Pembangunan Jemaat yang saya terima dari Ibu Hibur dulu, saya pernah mengerjakan sebuah tugas yang pada intinya meneliti dan merangkum sebuah model pembangunan jemaat yang akan diterapkan pada satu gereja tertentu. Pada saat itu, Ibu Hibur merekomendasikan setiap pengontrak kuliah untuk memilih gereja asalnya sebagai objek yang akan menjadi tempat praktik bagi pelaksanaan model pembangunan tersebut. Oleh karenanya, saya mengerjakan sebuah model pembangunan jemaat untuk gereja di mana saya dibesarkan, yaitu HKBP Paronan Nagodang, yang berlokasi di Laguboti, Kabupaten Toba. Berikut hasil catatan saya:
MODEL PEMBANGUNAN JEMAAT DI HKBP PARONAN NAGODANG
Keadaan Jemaat HKBP Paronan Nagodang
HKBP Paronan Nagodang, Ressort Laguboti adalah sebuah gereja yang terletak di perbatasan antara Desa Pardinggaran, dan Desa Ompu Raja Hutapea Timur, Kec. Laguboti. Adapun gereja ini melayani anggota jemaat yang mayoritasnya berasal dari dua desa tersebut. Saat ini, Gr. Roslin Sinurat, alumni STGH tahun 1999 adalah pelayan di di gereja ini. Sebagaimana desa-desa lain di daerah Toba, Desa Pardinggaran dan Desa Ompu Raja Hutapea Timur adalah ‘desa marga’, atau dengan kata lain terdapat salah satu marga dengan jumlah penduduk mayoritas di desa tersebut. Di Desa Pardinggaran, mayoritas penduduk adalah bermarga Pangaribuan, sedangkan di Desa Ompu Raja Hutapea Timur mayoritas penduduk adalah bermarga Hutapea. Keadaan ini pun berpengaruh terhadap keadaan majelis jemaat di gereja tersebut. Anggota majelis jemaat, atau lebih dikenal sebagai parhalado kebanyakan adalah anggota jemaat yang bermarga Pangaribuan dan Hutapea. Sebenarnya, marga Pangaribuan dan Hutapea ini adalah kakak beradik, dengan marga Pangaribuan sebagai saudara yang lebih tua.
Dari total jumlah jemaat HKBP Paronan Nagodang yang sekitar 350 K, hampir 85 persennya berprofesi sebagai petani. Sebagian lagi bekerja sebagai pedagang, nelayan, dan hanya sedikit pegawai. Oleh karenanya, tentu model pembangunan jemaat yang hendak ditawarkan kepada gereja ini berbeda dengan gereja-gereja lain, khususnya gereja yanga ada di perkotaan. Tentu diperlukan pendekatan khusus tertentu untuk dapat melihat celah yang dapat dituju demi pembangunan jemaat. Dalam hal ini, tugas untuk memimpin proses pembangunan jemaat tersebut adalah tugas pemimpin gereja, yang tiga periode belakangan ini berasal dari kalangan Guru Huria. Tentu Guru Huria tersebut tidak sendirian dalam hal proses pembangunan jemaat yang terlaksana. Ia dibantu oleh rekan-rekannya di parhalado yang dalam keadaan saat ini, berjumlah 13 orang; dengan tiga orang perempuan di dalamnya, termasuk pemimpin gereja, yaitu Guru Huria. Seperti kebanyakan gereja lain, khususnya HKBP, anggota parhalado di HKBP Paronan Nagodang diberi tugas masing-masing. Beberapa penugasan tersebut misalnya; mengurusi keuangan, mengurusi kategorial pelayanan dan sebagainya.
Model Pembangunan Jemaat
Dalam menyusun model pembangunan jemaat yang saya tawarkan, saya mengacu pada konsep-konsep yang ditawarkan oleh dua penulis, yaitu Jan Hendriks dan Kevin G. Ford, yang dijelaskan pada buku mereka masing-masing. Ada beberapa dari antara konsep mereka tersebut yang saya temukan sejalan, atau saling mendukung – saya beri tanda ft. atau featuring.
Iklim Positif
Sebagaimana dijelaskan Hendriks, iklim berpengaruh banyak terhadap organisasi; antara lain dalam hal kesenangan kerja. Bagi Hendriks, dengan adanya iklim yang baik atau iklim yang positif, anggota kelompok, baik dari kalangan pelayan maupun jemaat akan secara spontan saling tolong-menolong, serta saling memperbaiki kekurangan. Dalam hal ini, seperti yang ditawarkan oleh Hendriks, HKBP Paronan Nagodang dalam bentuknya sebagai ‘organisasi’ perlu menciptakan iklim positif di dalamnya. Pemimpin gereja tentu memiliki tugas penting di dalamnya, dibantu oleh para anggota parhalado – selanjutnya disebut sebagai tim inti.
Sebagaimana ditawarkan oleh Hendriks, dalam usahanya untuk menciptakan iklim yang positif, tim inti perlu membuka bagi anggota jemaat seluas-luasnya, serta memberi; hak berpartisipasi (a.l. dalam kegiatan-kegiatan gereja), hak ikut memutuskan, serta hak untuk bersuara. Sejauh pengamatan saya, selaku anggota jemaat HKBP Paronan Nagodang, tim inti telah berusaha untuk membuka serta memberi ketiga hak tersebut di atas bagi anggota jemaat. Misalnya, dalam rapat persiapan Perayaan Jubileum ke 125 beberapa tahun silam, seluruh anggota jemaat diberi hak untuk ikut dalam Rapat Huria yang di dalamnya, seluruh anggota jemaat berhak untuk memberikan pendapat terkait rancangan suatu program. Namun demikian, menurut saya, cara-cara lain, selain rapat menurut saya perlu juga dipikirkan oleh tim inti guna menampung sebanyak-banyaknya pendapat setiap anggota jemaat yang berguna demi pembangunan jemaat. Menurut saya, semacam survey tidak akan terlalu berlebihan.
Kepemimpinan yang Menggairahkan ft. Shared Leadership
Dalam tawaran Hendriks ini, pemimpin Gereja diajak untuk “menggairahkan” atau membuat sebanyak mungkin anggota jemaatnya bergairah untuk berpartisipasi dengan senang dan efektif, terutama dalam kegiatan maupun perkumpulan dan persekutuan yang dilakukan oleh Gereja. Sebagaimana ditawarkan oleh Hendriks; pemimpin gereja, dalam hal ini HKBP Paronan Nagodang, perlu memiliki model kepemimpinan yang menggairahkan ini. Karena, menurut Hendriks, model kepemimpinan demikianlah yang dapat menjadi titik tolak menuju perubahan; menuju pembangunan jemaat.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang “menggairahkan” Hendriks menawarkan agar seorang pemimpin gereja harus bersifat melayani, bukan memerintah. Artinya, pemimpin gereja harus berperan untuk mendorong setiap anggota jemaat bahkan menolong mereka; a.l. para anggota parhalado dalam melaksanakan tugasnya, alih-alih mendiktekan setiap pekerjaan yang harus mereka lakukan. Selain itu, sesuai tawaran Hendriks, jika pemimpin gereja – katakan saja Inang Gr. Sinurat dalam hal ini – hendak menjadi pemimpin yang "menggairahkan", ia perlu membagikan kuasa lewat delegasi tugas dan wewenang melaksanakan tugas tersebut; secara khusus kepada rekan-rekannya anggota parhalado. Selain itu, ia juga perlu memberi ruang kepada orang lain, dalam hal ini warga jemaat secara umum untuk terlibat dan memanfaatkan kapasitas mereka.
Selain hal-hal di atas, Hendriks juga menawarkan pemimpin gereja yang hendak menjadi pemimpin yang “menggairahkan” untuk memberi bantuan pada pekerjaan setiap anggota agar pekerjaan dapat terlaksana dengan baik. Pemimpin gereja juga perlu memberi perhatian mereka pada pentingnya kerja sama antar kelompok. Untuk meningkatkan kerja sama ini, pemimpin gereja juga dirasa perlu untuk membuka komunikasi yang lebih terbuka dan jujur bersama setiap anggota. Pemimpin mendengar keluh kesah serta aspirasi anggota. Jika Hendriks menawarkan model kepemimpinan yang menggairahkan, maka Kevin G. Ford menawarkan prinsip shared leadership. Masing-masing model yang ditawarkan, baik oleh Hendriks maupun Ford menurut saya sejalan. Berkaitan dengan apa yang ditawarkan oleh Hendriks, Ford, dalam kepemimpin menawarkan, bahwa para pemimpin Gereja dalam kepemimpinannya perlu melakukan shared leadership. Artinya, pemimpin harus mendelegasikan kuasa; bahkan mendelegasikan kepemimpinan jika sewaktu-waktu pimpinan tetap tersebut berhalangan. Dengan adanya prinsip shared leadership ini gereja akan terbantu terhindar dari kepemimpinan yang ‘monarkis’ atau kepemimpinan yang ‘memutlakkan’ keputusan pemimpin tetap gereja, sehingga ruang bagi setiap anggota jemaat untuk memberikan pengaruhnya masing-masing menjadi tertutup.
Struktur ft. Community
Dalam tawaran Hendriks, struktur organisasi yang vital pertama harus sederhana. Seorang pemimpin gereja; khususnya dalam hal ini pemimpin HKBP Paronan Nagodang hendaknya jelas dalam hal kepada siapa ia memiliki hubungan atau relasi. Selain itu, pemimpin juga hendaknya membuka seluasnya wadah bagi kelompok-kelompok kecil yang dapat terlibat dalam penugasan. Dengan adanya kelompok-kelompok kecil tersebut, akan ada koordinasi yang terjadi lewat rundingan formal dan informal. Dalam hal ini, pemimpin harus memberi wadah bagi kelompok-kelompok kecil di dalam gereja, misalnya kelompok tim musik. Dengan adanya kelompok ini, tentu pemimpin gereja akan cukup terbantu.
Selain itu, sesuai tawaran Hendriks, seorang pemimpin gereja juga perlu menerapkan desentralisasi pada pembagian kuasa. Artinya, pemimpin hendaknya melakukan pembagian wewenang dan tanggung jawab. Dengan begitu, setiap anggota akan lebih banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan di dalam gereja. Selain itu, pemimpin gereja tak perlu lagi tampil bagaikan seorang yang sedang melakukan one-man show. Tetapi kemudian, kendati ada pembagian kuasa dalam pelaksanaan tugas, setia anggota hendaknya memiliki pemahaman bahwa mereka adalah bagian dari suatu kesatuan dan oleh karenanya, harus memiliki komunikasi dan interaksi.
Tawaran Hendriks ini, senada dengan yang ditawarkan oleh Ford. Sebagaimana ditawarkan oleh Ford, gereja, dalam strukturnya; dalam hal ini HKBP Paronan Nagodang harus menekankan pentingnya komunitas. Artinya, dalam setiap penugasan atau alur strukstur, pemimpin sejatinya perlu mengarahkan agar setiap anggota jemaat menjadi sebuah komunitas dalam setiap tugas yang didelegasikan. Artinya, komunikasi sangat vital demi berjalan dan terlaksananya tugas tersebut. Dengan adanya prinsip komunitas dalam struktur ini, maka struktur akan lebih sehat dan menggairahkan, karena, senada dengan apa yang dijelaskan oleh Hendriks, struktur yang sehat dan menggairahkan adalah struktur yang membuka peluang bagi adanya komunikasi dalam setiap pendelegasian tugas.
Tujuan dan Tugas ft. Missional
Hendriks menawarkan, bahwa dalam menuju jemaat yang vital dan menggairahkan, tujuan harus menggairahkan pula, serta dibarengi dengan tugas yang menarik. Sebagaimana dijelaskan oleh Hendriks kemudian, bahwa, kualitas tujuan dan tugas juga berpengaruh terhadap vitalitas jemaat – selain iklim, kepemimpinan, dan struktur. Tujuan dan tugas sebenarnya erat kaitannya. Tujuan yang hendak dicapai tersebutlah yang kemudian membawa kepada perumusan tugas. Dengan mengikuti pola yang dibuat oleh Hendriks mengenai tujuan yang menggairahkan; maka, pemimpin HKBP Paronan Nagodang dalam tugasnya sebagai pelopor pembangunan jemaat, hendaknya menyusun, pertama-tama tujuan yang jelas. Selain itu, tujuan harus konkret pula.
Selain dalam hal tujuan, jemaat yang vital mengharuskan pula adanya tugas yang menarik. Pemimpin gereja harus sebisa mungkin memastikan adanya tugas yang menarik tersebut. Tugas yang menarik itu sendiri adalah tugas yang memiliki kualitas tugas atau pekerjaan. Dengan adanya tugas menarik ini, maka akan ada kemungkinan untuk anggota yang terlibat mengembangkan diri. Selain itu, dengan adanya tugas menarik tersebut, maka anggota akan tertantang untuk melaksanakan tugas yang menarik tersebut. Baiknya, tugas yang menarik harus pula memberi wewenang terhadap pelaksana tugas tersebut. Tugas yang menarik ini akan menghindarkan anggota jemaat dari rasa bosan dan ketidaksanggupan untuk melaksanakan tugas. Itu artinya, tugas yang menarik tentu adalah tugas yang mempertimbangkan pula kemampuan yang dimiliki oleh si penerima tugas tersebut.
Ada baiknya, jika tawaran Hendriks mengenai tujuan dan tugas ini dielaborasikan dengan apa yang ditawarkan oleh Ford dalam prinsip Missional dalam bukunya. Dengan adanya prinsip missional yang berlawanan dengan prinsip cloister sebagaimana diperbandingkan oleh Ford, maka gereja akan terhindar dari tugas-tugas yang hanya berorientasi pada pihak-pihak yang ada di ‘dalam tembok gereja’. Gereja pun kemudian lupa akan pentingnya pelayanan misi kepada orang-orang di luar tembok tersebut. Itu artinya, jika memperbandingkan tawaran Hendriks dan tawaran Ford, maka, tujuan yang menggairahkan sejatinya perlu menyentuh aspek misi; yang antara lain, berkisar pada pemberitaan kabar baik ke seluruh makhluk dan/atau pelayanan kepada orang-orang yang menderita.
Jika mengkombinasikan tawaran Hendriks dan Ford di atas, maka, model pembangunan jemaat yang saya tawarkan bagi HKBP Paronan Nagodang – gereja yang telah mengutus saya ini – adalah model dengan tujuan dan tugas yang menyentuh aspek misi. Dengan kata lain, selain harus menggairahkan dan menarik, tujuan dan tugas gereja ini pun haruslah misioner. Masih ada beberapa anggota jemaat HKBP Paronan Nagodang – yang menurut saya – gereja perlu menghadirkan diri bagi penderitaan yang mereka alami, terutama kepada kaum janda dan yatim atau piatu. Tim inti gereja boleh mengambil peran di depan untuk setidaknya mendengar keluh kesah mereka, seraya menguatkan mereka melalui doa, ataupun pemberitaan akan pengharapan di dalam Kristus – selain bantuan materil yang tentu juga dibutuhkan.
Konsepsi Identitas ft. Code
Hendriks menawarkan bahwa dengan memiliki konsepsi identitas, maka organisasi; dalam hal ini gereja akan lebih vital. Karena, dengan adanya konsepsi identitas ini, maka gereja akan lebih mudah untuk kemudian mengembangkan tujuan-tujuan yang jelas dan meningkatkan keterbukaan di dalam organisasi. Dalam penjelasan, Hendriks memperlihatkan identitas sebagai kekhasan organisasi, dan yang membedakannya dari grup atau organisasi lain. Konsepsi identitas ini sendiri berkembang seiring dengan perkembangan waktu serta perubahan kultur di dalam masyarakat.
Konsepsi Identitas yang ditawarkan oleh Hendriks di atas, cukup mirip dengan apa yang dipilih oleh Ford sebagai tandingan dari Ingcongruent, yakni Code, atau kode. Senada dengan apa yang dipahami oleh Hendriks, kode merupakan jati diri, sesuatu hal yang unik yang dimiliki oleh suatu gereja. Dengan memahami kode, maka gereja akan dapat memahami dirinya secara utuh. Memecahkan kode ini adalah tugas bersama, yang dipandu atau dipelopori oleh pemimpin gereja. Jika kemudian gereja incongruent atau tidak sesuai dengan kodenya, maka gereja akan cenderung plin-plan, dan tidak bisa menyatakan sikap, menyusun kerangka program yang lebih baik.
Maka, dengan melihat persamaan di antara tawaran Hendriks dan Ford, dapat dilihat bahwa identitas atau kode merupakan hal unik yang dimiliki oleh gereja; yang kemudian mengarahkan mereka pada siapa mereka sebenarnya; apa jati diri mereka; dan bahkan perutusan mereka. Oleh karena itu, dengan melihat konsep yang ditawarkan oleh Hendriks dan Ford di atas, saya menawarkan model pembangunan jemaat bagi HKBP Paronan Nagodang model yang di mana, pemimpin gereja, bersama-sama dengan anggota jemaat, terlebih dahulu memecahkan atau menemukan (to discover) identitas atau kodenya. Dengan terlebih dahulu memecahkan kodenya; yang terselip di antara aspek-aspek di dalam gereja (mitos, ritual, arsitektur dan sebagainya) maka gereja akan dapat menyatakan diri lebih tegas; menentukan sikap serta menyusun pelayanan yang lebih sesuai dengan kodenya, agar kemudian terhindar dari incongruence terhadap kodenya.
Kode, atau identitas inilah yang kemudian memberi petunjuk bagi gereja; khususnya HKBP Paronan Nagodang, antara lain, bidang pelayanan yang harus mereka tuju bahkan membantu gereja dalam proses pembangunan jemaat.
Buku Acuan
Hendriks, Jan. 2002. Jemaat Vital dan Menarik. Yogyakarta: Kanisius.
Ford, Kevin G. 2008. Transforming Church. Colorado Springs: David C. Cook.
0 Komentar