Misi Gerejawi HKBP di Tengah Pandemi Covid-19



Gereja sangat erat kaitannya dengan misi. Misi merupakan hakikat atau nature dari Gereja itu sendiri. Artinya, jika suatu gereja tak lagi melakukan misinya, ia bukanlah Gereja pada hakikatnya. Sebaliknya, gereja yang benar-benar Gereja pada hakikatnya adalah gereja yang melakukan misinya. Mula-mula, Allahlah yang bermisi ke dalam dunia ini (missio Dei), yaitu untuk menyatakan kabar keselamatan ke semua orang, melalui Anak-Nya Yesus Kristus yang diutus ke dunia. Oleh Allah, Gereja kemudian dilibatkan ke dalam pelayanan misi ini. Selanjutnya, Gerejalah yang meneruskan misi Allah tersebut; injil adalah salah satu bagian penting dari misi yang dilakukan oleh Gereja itu.

Banyak tokoh Alkitab yang ikut serta mengabarkan Injil Kristus, berita baik yang menyatakan bahwa semua orang akan diselamatkan melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib. Dalam hal ini, Gereja ikut terlibat di dalam misi tersebut. Dalam zaman pelayanan misioner Paulus misalnya, Gereja merupakan alat yang vital dalam pelayanan misinya. Melalui Gereja yang didirikannya itulah Injil diberitakan kepada banyak orang yang berkumpul di dalam sebuah gedung tertentu. Sehingga dalam pengertian ini, Gereja yang dimaksud adalah perkumpulan orang yang dipanggil masuk ke dalam untuk bersekutu, mendengar dan menjadi saksi bagi Injil Kristus kemudian. Oleh karena itu, dalam hal inilah terlihat keterlibatan Gereja di dalam pekabaran Injil. Gereja, sebagai perkumpulan orang-orang percaya, terpanggil untuk ikut menyaksikan, serta mewartakan kepada semua orang di dunia, terutama yang belum mengenal dan menjadi murid Kristus.

Tahun demi tahun, abad demi abad, Gereja semakin bertumbuh. Hingga kini, ada beberapa aliran atau denominasi Gereja. Yang terbesar ada tiga: Katolik Roma, Protestan, serta Gereja Ortodoks. Dari beberapa bacaan yang saya laporkan dalam mata kuliah misiologi ini, saya memahami bahwa ketiga aliran besar Gereja ini sama-sama memberi perhatiannya pada misi ini. Bahkan, ada semacam pergeseran paradigma; dari yang dulunya tidak terlalu mementingkan misi, kini, seolah bertobat, ketiga aliran Gereja tersebut, dituntun oleh para teolog dengan tulisannya, kini semakin memberi fokus mereka pada pelayanan misi, yang nyatanya merupakan bagian hakiki dari Gereja itu sendiri. Ada beberapa Gereja di Indonesia yang menjadikan misi sebagai tema atau orientasi pelayanan satu tahun kalendernya.

Gereja HKBP dalam hal ini memilih tahun 2020. Setepatnya, gereja HKBP mengenal tahun 2020 sebagai “Tahun Reposisi Pekabaran Injil”. Kata yang perlu dipahami lebih lanjut adalah reposisi, yang artinya secara harfiah adalah ‘menempatkan kembali pada posisinya semula’. Gereja HKBP tepat dalam pemilihan kata reposisi ini. Karena, pada masanya sendiri, HKBP pernah memberi perhatian utama pada pekabaran Injil, terutama saat gereja itu baru berdiri sendiri. Semangat pekabaran injil inilah yang barangkali memotivasi HKBP pada tahun 2020 ini untuk ‘mereposisi dirinya’ pada ladang pelayanan misi yang selama ini tak terlalu mendapat perhatian. Jika reposisi ini berhasil dilakukan oleh HKBP dalam satu kalender penuh tahun 2020, ini dapat menjadi indikator bagi eksistensi Gereja HKBP secara hakiki. 

Ada beberapa refleksi yang coba saya utarakan dan tawarkan dalam tahun pekabaran Injil ini. Pertama, perihal pemuridan. Bagi saya, pelayanan misi yaitu pewartaan Injil atau kabar keselamatan bukan semata-mata hanya sebagai sebuah proses kristenisasi atau peng-HKBP-an. Melayankan misi dalam hal pewartaan Injil bukanlah soal menjadikan seseorang yang belum mengenal Kristus menjadi seorang Kristen atau anggota jemaat gereja HKBP. Kendati nantinya seseorang yang dilayankan itu menjadi Kristen atau anggota jemaat gereja HKBP, itu bukanlah menjadi tujuan utama dari sebuah pelayanan misi. Lebih dari itu, pelayanan misi harus melibatkan pemuridan. Tujuan utama dari pewartaan Injil haruslah menjadikan mereka yang dilayani menjadi murid dan saksi-saksi Kristus selanjutnya. Artinya, dalam pewartaan injil ini, yang harus diperkenalkan terlebih dahulu adalah Kristus; tentang pengorbanan-Nya bagi manusia, pelayanan-Nya dan penebusan-Nya atas dosa manusia. Maka selanjutnya, tentang keputusan menjadi Kristen atau anggota jemaat dari suatu gereja, itu sepenuhnya merupakan hak  mereka yang dilayani tersebut. Yang terpenting dalam pelayanan misi, yakni pewartaan Injil, tugas untuk memperkenalkan Kristus dan perbuatan-Nya telah dilakukan dengan baik.

Berangkat dari paragraf di atas, saya berkaca, bahwa kita tak boleh lagi meneruskan pelayanan misi yang cenderung hanya sebagai proses ‘kristenisasi’ atau ‘HKBP-nisasi’. Terutama dalam tahun pekabaran Injil ini, menurut saya, kita harus ikut dalam pergeseran paradigma yang terjadi di dalam Gereja-Gereja di Barat. Paradigma kita harus bergeser dari yang dulunya berpikir tentang pewartaan Injil sebagai kristenisasi belaka menjadi lebih terbuka pada pengenalan akan Kristus kepada mereka yang dilayani dalam misi. Saya berharap, saudara-saudara saya; abang tingkat saya yang saat ini sedang melaksanakan praktik pelayanan misi atau zending di beberapa daerah di Sumatera dimampukan untuk dapat memperkenalkan Kristus sebagai tujuan utama dalam setiap pelayanan misi yang mereka lakukan. Bukan hanya memperkenalkan HKBP atau STGH HKBP saja.

Kedua, perihal strategi pelayanan misi yang baru. Menurut saya, dalam pelayanan misi yang banyak bersentuhan dengan interaksi antara orang-orang di dalam tembok dengan orang-orang di luar ‘tembok’, gereja HKBP harus memikirkan strategi khusus untuk melancarkannya. Kita tahu, bahwa banyak pos pelayanan gereja HKBP memiliki anggota jemaat yang bukan berasal dari suku Batak, sebagai suku ‘mayoritas’ di kalangan jemaat HKBP. Inilah yang kemudian menjadi tantangan bagi gereja HKBP. Bagaimana sebuah gereja Batak dapat memperkenalkan Kristus ke dalam bahasa dan konteks orang-orang yang berasal dari luar Batak. Artinya, gereja HKBP perlu sebuah pendekatan khusus untuk dapat melancarkan aksi misinya. Tawaran saya, gereja HKBP dalam pelayanan misinya harus berdialog dan melakukan kontekstualisasi dengan situasi budaya, sosial yang melatarbelakangi orang-orang yang hendak mereka layani tersebut. Alih-alih memperkenalkan Kristus dalam konteks dan pemahaman suku Batak; suku yang melatarbelakangi gereja HKBP itu sendiri, gereja HKBP harus mampu memperkenalkan Kristus dalam konteks dan pemahaman budaya setempat.

Merujuk pada paragraf di atas, menurut saya, dalam pelayanan misinya, gereja HKBP harus mampu menyeimbangkan antara identitas Batak yang melekat pada HKBP dengan kontekstualisasi budaya di mana gereja-gereja HKBP berdiri. Artinya, dengan tidak melupakan unsur budaya Batak sebagai latarbelakangnya, gereja-gereja HKBP di sisi lain juga baiknya mampu menghadirkan dirinya, menjadikan dirinya sebagai sahabat bagi budaya lain; budaya yang ada di daerah gereja tersebut berdiri. Dengan kata lain, gereja HKBP dalam pelayanan misinya, baiknya mencoba menghadirkan unsur-unsur budaya di mana gereja itu berdiri, serta membiarkannya mempengaruhi gereja. Saya tawarkan gereja HKBP Denpasar Bali sebagai contoh. Gereja tersebut hadir di tengah budaya suku Bali. Oleh karenanya bangunannya dikontekstualisasikan dengan budaya Bali. Saya juga mendukung penggunaan alat musik daerah untuk dimasukkan ke dalam gedung gereja; menjadi instrumen pengiring saat melakukan ibadah di gereja. Daerah yang dimaksud adalah daerah di mana gereja berdiri.

Ketiga, perihal pandemi Covid-19. Kita tahu, bahwa tahun 2020 ini penuh tantangan. Terutama, saat ini kita sedang dilanda oleh pandemi Covid-19. Akibatnya, gedung gereja tutup. Tak ada ibadah minggu, ibadah sektor, atau jenis ibadah lainnya yang melibatkan kerumunan orang. Semuanya dianjurkan oleh pemerintah untuk ditunda saja, dan sementara setiap orang, khususnya jemaat gereja HKBP, beribadah di rumah mereka masing-masing. Inilah yang kemudian menjadi tantangan bagi gereja HKBP. Apa boleh buat, ‘pendapatan’ atau biaya operasional gereja HKBP paling banyak bersumber dari anggota jemaat; misalnya melalui ibadah minggu dan ibadah lainnya di gereja. Sejak pandemi ini hadir di Indonesia, ibadah minggu tak lagi di gereja, alhasil, biaya operasional gereja HKBP berkurang.

Dalam hal ini, gereja HKBP ditantang untuk tetap dapat menjalankan misinya, khususnya melakukan pelayanan belas kasih kepada anggota jemaat yang terdampak pandemi Covid-19 ini. Di satu sisi, gereja diperhadapkan dengan pengurangan pemasokan biaya operasional yang sedianya dipakai untuk kegiatan pelayanan gereja. Namun di sisi lain, gereja tetap harus menjalankan misinya sebagai hakikat dari dirinya sendiri. Gereja HKBP dalam hal ini, tetap harus menghadirkan dirinya di tengah pergumulan orang-orang, secara khusus jemaatnya yang terdampak pandemi Covid-19 ini. Misalnya, anggota jemaat yang kehilangan pekerjaannya karena PHK besar-besaran atau karena kehilangan sanak saudaranya yang meninggal akibat terinfeksi virus (baik dari pihak pasien secara umum, maupun tim medis yang ikut terinfeksi saat menangani pasien).

‘Penghadiran diri’ gereja HKBP di tengah pergumulan anggota jemaat yang terdampak hendaknya bukan isapan jempol belaka. Di satu sisi, gereja HKBP harus tetap mewartakan firman Allah, serta pengharapan di dalam Kristus sebagai bagian dari pelayanan misi kepada mereka yang terdampak. Di sisi lain, gereja HKBP juga perlu menyentuh secara langsung kehidupan anggota jemaatnya yang terdampak. Penghiburan dan topangan kepada anggota jemaat yang kehilangan keluarganya misalnya, penting dilakukan oleh gereja HKBP dalam hal ini. Oleh karenanya, pendekatan pendampingan pastoral pun perlu dilakukan gereja HKBP, dalam hal ini pelayan gereja di mana anggota jemaat tersebut berada. Selain itu, bantuan materil pun pastinya sangat bermanfaat terutama bagi anggota jemaat yang betul-betul berkesusahan akibat pandemi Covid-19 ini.

Belum lagi, jika ada salah satu dari mereka yang menghadapi dua kasus secara bersamaan. Di sisi kanan, mereka kehilangan pekerjaan karena PHK, di sisi kiri, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa salah satu anggota keluarga mereka meninggal akibat terinfeksi virus penyebab Covid-19. Di sinilah, di tengah pergumulan seperti gereja HKBP, melalui tangan-tangan para pelayanannya, hendaknya hadir setidaknya mendengar, bertukar pikiran, dan sebisa mungkin membantu meringankan beban dari anggota jemaat yang terdampak. Kendati, di sisi lain, para pelayan tersebut pun turut ‘menderita’ akibat dampak Covid-19 ini. Inilah kekuatan para pelayan gereja yang sejatinya harus kita dukung pula agar mampu menjembatani Gereja dengan para korban atau anggota jemaat yang terdampak pandemi ini.


0 Komentar