Laporan Bacaan: Becoming a Theologian: The Apprentice

Laporan Bacaan Buku: The Future of Christian TheologyBab IX Becoming a Theologian: The ApprenticeDavid F. Ford, 2011.

Dalam postingan ini saya akan menyajikan satu laporan bacaan yang saya tulis sebagai tugas mata kuliah Metode Penelitian Teologi dan Sosial, yang diampu oleh dosen favorit say, Pak Jhon Kristo. Saya membaca serta melaporkan Bab IX buku The Future of Christian Teology: Becoming a Theologian: The Apprentice, tulisan David F. Ford.

Dalam bab IX tersebut di atas, penulis buku, David F. Ford melihat esensi dari adanya orang-orang terutama yang Kristen, untuk mengabdi pada bidang teologi Kristen. Oleh bab dalam buku ini, mereka – yang boleh jadi terpanggil untuk belajar dan menghasilkan suatu pemikiran teologis tertentu – diajukan beberapa pertanyaan, misalnya: Formula apa yang mungkin cocok untuk menjadi seorang teolog? Pemahaman-diri dasar apa yang mungkin dapat dipertimbangkan, “latihan diri” apa yang harus dipelihara? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian akan dijawab oleh penulis melalui penjelasannya dalam bab buku.

Menjadi Murid yang ‘sedang magang’      
Penulis melihat bahwa model ‘pemuridan’ yang dilakukan oleh Yesus bersama murid-murid-Nya cenderung mengarah pada apa yang dia pahami sebagai ‘masa magang’. Penulis memahami, dalam ‘masa magang’, berbicara dan mendengar adalah dua hal yang identik dengan konteks murid sebagai ‘pembelajar’ dan sejajar hubungannya dengan dua hal lain, yaitu meniru dan melakukan. Berkaitan dengan itu, penulis memahami bahwa memang semua teolog pelajar  adalah ‘murid’ Yesus Kristus, yang berkeinginan untuk mengikuti-Nya, belajar dari-Nya, meniru-Nya. Namun demikian, penulis lebih memilih menggunakan istilah ‘orang yang sedang magang’ atau selanjutnya disebut ‘magang’, daripada ‘murid’.          

Alasan penulis, yaitu: penulis berpikir bahwa dalam belajar teologi, istilah ‘murid’ atau ‘pemuridan’ yang digunakan dalam hubungan Yesus dengan ‘murid-murid’-Nya, cenderung eksklusif, di mana ‘murid-murid’-Nya hanya belajar dari satu, guru, yaitu Yesus. Oleh karena itu, istilah ‘magang’ akan memberi makna yang lebih dalam bagi proses pembelajaran teolog. Para teolog ‘magang’ akan belajar dari lebih dari satu guru, melalui teladan-teladan yang dimiliki oleh para guru tersebut yang adalah berpengaruh dalam sejarah Kekristenan. Penulis menjelaskan beberapa teladan berikut:

Seorang pencari tahu, penerima dan pembaca           

Penulis melihat bahwa kitab Lukas memperhatikan teladan yang dimiliki oleh Yesus dalam diri-Nya. Ia adalah seorang pencari tahu, dan pendengar. Saat berusia 12 tahun, Ia pergi ke Bait Allah di Yerusalem, bertemu dengan para alim ulama (guru), mendengarkan mereka dan bahkan mengajukan pertanyaan (Luk. 2:46). Selain itu, semakin bertambar besar, Yesus semakin berhikmat (2:52). Lukas juga menggambarkan bahwa ketika Yesus dibaptis, Roh Kudus turun atas-Nya. (3: 22). Dalam bagian lainnya, ketika Yesus dibawa oleh Roh Kudus ke hutan belantara, Ia digambarkan memberi respon terhadap pencobaan yang ia hadapi dengan firman yang tertulis di dalam Alkitab (4:1-13).                        

Yesus sendiri dalam hal ini digambarkan sebagai seorang yang mau menerima, pendengar, pencari tahu, mau belajar akan kebijaksanaan, penerima Roh Kudus dan juga pembicara dan pembaca Kitab Suci. Teolog terutama yang sedang ‘magang’ yang mengikut Yesus adalah mereka yang mau menerima Allah, pengajaran masa lalu dan masa kini, dan dipenuhi oleh Roh Kudus, belajar penuh dari Alkitab, dan bertumbuh dalam hikmat. Penerimaan teologis kreatif atas Yesus dan Injil memerlukan sifat mau menerima, dan pembacaan terhadap diri.           

Selain itu, melalui teladan Yesus tersebut yang dituliskan oleh Lukas, penulis melihat bahwa untuk menjadi seorang yang ‘mau menerima’, sesuai teladan Yesus, teolog Kristen yang sedang ‘magang’ harus berhubungan baik dengan pembacaan teks (teks-teks asli Alkitab) yang merupakan dasar dalam berteologi Kristen. Hal ini tentu memerlukan kemampuan dan pengetahuan tentang bahasa-bahasa yang digunakan dalam teks-teks klasik serta tafsiran-tafsiran dan refleksi yang berpengaruh. Penulis juga menyarankan para teolog ‘magang’ untuk melakukan pembacaan ulang secara perlahan terhadap teks-teks yang kaya makna. Perlu juga bagi seorang teolog ‘magang’untuk belajar dari pembaca bijak lainnya. Selain itu, penulis juga menyarankan untuk berefleksi pada diri seniri sebagai pembaca.

Keterlibatan – Seorang yang Dicintai dan Mencintai      

Seorang teolog ‘magang’ dapat belajar dari Yesus, agar bertumbuh ke dalam keterlibatan yang berbuah bersama Allah, gereja dan dunia. Oleh penulis, Yesus digambarkan sebagai seorang yang tekun berdoa, berdoa bersama orang lain, dan mengajarkan doa. Selain itu, penulis juga menjelaskan bahwa teolog ‘magang’ juga dapat belajar dari diri Yesus dalam hal keterlibatan-Nya bersama murid-murid-Nya. Ia adalah seorang sosialis, membagikan hidup-Nya bersama mereka dan ada untuk mereka. Kasih dan pengertian adalah hal yang ada dalam diri Yesus.           

Yohanes sebagaimana dikutip oleh penulis, menggambarkan Yesus sebagai seorang yang mau melayani murid-murid-Nya. Tidak seperti Injil Sinoptik, Yohanes lebih memberi perhatiannya pada peristiwa di mana Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya (Yoh. 13:12-17). Yohanes juga memberi perhatiannya pada model pemuridan yang dilakukan oleh Yesus, di mana ia menggambarkan pemuridan tersebut sebagai persahabatan. “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba… tetapi Aku menyebut kamu sahabat” (Yoh. 15:15). Pada dasarnya, dalam Injil Yohanes, keterlibatan bersama Allah akan kasih, perseketuan kasih, dan pelayanan kasih adalah hal yang paling sentral dalam hidup pemuridan.

Berpikir – Seorang yang Imajinatif, Berpikir Tajam
Yesus, sebagaimana diperhatikan oleh penulis, adalah seorang pemikir yang imajinatif. Pemikiran-Nya yang imajinatif tersebut terlihat dalam perumpamaan-perumpamaan-Nya yang hidup yang ‘menampakkan’ kerajaan Allah. Hal tersebut juga terlihat melalui cara-Nya menjawab pertanyaan yang menjebak, bagaimana Ia mengajar, menafsirkan Kitab Suci, dan sebagainya. Selain itu, Yesus juga digambarkan secara konsisten mempertimbangkan cara terbaik untuk berbicara dan bertindak – memberi respon terhadap pencobaan, memilih murid-murid, berinteraksi dengan orang-orang dan sebagainya.

Bagi penulis, tentu teladan Yesus dalam berpikir secara imajinatif dan tajam tersebut di atas perlu ditiru oleh teolog ‘magang’. Berpikir adalah salah satu hal yang penting bagi seorang teolog ‘magang’, karena sebelum melakukan pembacaan ulang, beribadah, berbicara, dan melayani, tentu ia telah berpikir terlebih dahulu. Oleh karenanya, Teolog ‘magang’ diarahkan oleh penulis untuk memupuk dan mengembangkan imajinasi teologisnya yang tentu melibatkan daya berpikir; melalui puisi, simbol, juga melalui tradisi Kristen yang kaya, dan melalui literatur, seni, musik, dan arsitektur.            

Pada diri Yohanes, penulis melihat, bahwa dalam berpikir, ia juga memiliki daya imajinasi. Hal tersebut dapat dipahami melalui tulisannya yang begitu imajinatif tentang penyaliban sebagai pemuliaan Yesus. Selain itu, dalam bagian doa Yesus sebelum Ia ditahan, karakter teologis yang begitu khas dalam pikiran Yohanes diperlihatkan (Yoh. 17). Bagi teolog ‘magang’, tentu teladan yang dimiliki oleh Yohanes ini layak untuk diikuti. Dalam hal itu, penulis juga mengajak teolog ‘magang’ untuk memumpuk kapasitasnya dalam berpikir secara kritis dan pemahaman tentang disiplin pemikiran seperti konseptualisasim meditasi, kontemplasi, dan lain sebagainya. 

Komunikasi – Seorang yang Bersaksi, Puitis
Penulis menjelaskan, bahwa seorang teolog ‘magang’ adalah seorang saksi yang berkomunikasi dengan kepedulian dan kreatifitas puitis, seperti Yesus, dan Yohanes. Dalam diri Yesus, penulis melihat bahwa Ia adalah ‘seorang’ yang bersaksi tentang Kerajaan Allah (Mrk. 1:14). Yesus juga dikenali sebagai seorang pembicara yang apik, Ia dipuji oleh orang-orang atas pengajaran-Nya (Luk. 4:15). Orang-orang di kampung halaman-Nya begitu heran bagaimana Ia bisa belajar menjadi seorang pembicara yang begitu hebat. Mereka juga heran atas perkataan-Nya yang penuh rahmat (Luk. 4:22).           

Yohanes dalam Injil yang ditulisnya, sebagaimana diperhatikan oleh penulis, secara tegas menyoroti hal-hal yang berkaitan dengan ‘kesaksian’ (marturia). Hal ini didukung oleh salah satu ayat dalam kitab Yohanes: “Datanglah seorang yang diutus Allah, namanya Yohanes; ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya” (Yoh. 1:6-7). Kepada Yohanes sendiri, kesaksian Yesus akan diri-Nya sendiri dinyatakan secara lebih tegas, terutama dalam perkataan-perkataan “Akulah” yang diucapkana Yesus yang menggaungkan nama ilahi (6:35; 8:12; 10:7; 10:11; 15:1).  

Berkaitan dengan bagian sebelumnya yang dijelaskan oleh penulis, panggilan Yohanes sebagai seorang saksi, tak lepas dari kaitannya dengan penerimaan Roh Kudus; ia diinspirasi oleh dan menerima Roh Kudus bersamaan dengan tugas pelayanannya. Selain itu, teladan Yohanes sebagai saksi – yang hendak dicontoh oleh teolog magang – dikolaborasikan dengan perhatiannya terhadap tulisannya. Ia menulis secara imajinatif dan ia adalah seorang yang puitis. Penulis akhirnya menyebutkan bahwa Yohanes memberikan contoh kepada teolog Kristen melalui hidup bersaksi dan diri puitis.

Tanggapan Kritis                              
Setelah membaca tulisan David F. Ford ini, saya segera mengarahkan pikiran saya pada suatu fakta bahwa selain Yohanes, sebagai orang yang memberikan kesaksian tentang teladan Yesus, masih ada satu tokoh penting lagi yang memberi kesaksian pentingnya tentang Yesus. Perbedaan antara Yohanes dan tokoh ini adalah, Yohanes bertemu dengan Yesus ketika Ia masih melayani, sedangkan tokoh yang satu ini tidak bertemu Yesus secara ‘fisik’.

Ia adalah Paulus. Paulus adalah seorang rasul yang tentu sangat berpengaruh dalam sejarah kekristenan.  Pengalaman kesaksiannya tentang Yesus, menurut saya, perlu diberi perhatian untuk melihat diri Yesus dan teladan-Nya dalam perspektif orang yang tidak pernah melihat Yesus secara ‘fisik. Selain itu, peran Paulus sebagai saksi juga perlu diperhatikan, sebagaimana penulis juga memberi perhatian terhadapnya. James D. Tabor menjelaskan adanya hubungan khas yang dimiliki oleh Paulus dengan Yesus. Kendati Paulus tidak pernah bertemu secara ‘fisik’ dengan Yesus, ia adalah orang yang mengalami ‘pewahyuan’ oleh Yesus yang terjadi tidak hanya sekali dan bahkan mendorong Paulus untuk menyaksikan bahwa ia menerima pengajaran dari Yesus secara langsung (Gal 1:12).[1]

Dijelaskan kemudian bahwa akses Paulus berasal dari ‘wahyu’ yang ia terima dari Kristus surgawi.[2] Senada dengan hal tersebut, Albert Harrill menjelaskan bahwa Paulus menilai tugas pelayanannya bukanlah oleh karena otoritas manusia, melainkan melalui Yesus Kristus dan Allah Bapa,[3] dan oleh karenanya Paulus mendasari kepemimpinannya atas jemaat yang ia dahulu pimpin, pada kasih karunia Allah. Di lain hal, bagi Paulus, sebagaimana dijelaskan oleh James, percaya kepada Yesus bukanlah semata-mata dalam arti memiliki iman kepada Kristus, tetapi adalah berada di dalam Kristus.[4]            

Melalui kisah tentang Paulus ini, saya memahami satu hal lagi bahwa teolog yang sedang ‘magang’ boleh memberi perhatiannya juga, pada cara Paulus mehamami hubungannya dengan Yesus Kristus. Oleh Paulus, teolog ‘magang’ seolah diajak untuk berada di dalam Dia, kendati tidak pernah bertemu dengan-Nya secara ‘fisik’. Selain itu, kisah Paulus ini juga memberikan gambaran tentang Yesus Kristus yang juga ‘mengajar’ bahkan kepada ‘murid-murid’-Nya yang tidak ia temui  secara langsung. Artinya, Yesus Kristus boleh saja hadir termasuk kepada teolog ‘magang’ untuk mengajarnya dan memberikannya ‘wahyu’.           

Daftar Pustaka

Tabor, James D. Paul and Jesus: How the Apostles Transformed Christianity. New York: Simon & Schuster Paperbacks, 2012.

Harrill, J. Albert. Paul the Apostle: His Life and Legacy in Their Roman Context. New York: Cambridge University Press, 2012.



[1] James D. Tabor, Paul and Jesus: How the Apostles Transformed Christianity (New York: Simon & Schuster Paperbacks, 2012), 1.

[2] Ibid., 3.

[3] J. Albert Harrill, Paul the Apostle: His Life and Legacy in Their Roman Context (New York: Cambridge University Press, 2012), 84.

[4] James, Paul and Jesus., 130.

0 Komentar