Dalam pertemuan-pertemuan kami pada kuliah Teologi Perjanjian Lama yang diampu oleh Pak Ronald, kami membahas beberapa pokok Teologi seputaran tindakan Allah terhadap bangsa Israel. Berawal dari karya penciptaan, yang dalam mata kuliah ini, kami sebut sebagai Teologi Penciptaan. Kali ini, saya akan membagikan catatan saya mengenai lanjutan lain dari Teologi Penciptaan ini. Oh, ya, dalam mata kuliah ini, kami menggunakan buku Theologia Perjanjian Lama 1 (TPL1), tulisan Christoph Barth sebagai buku pegangan.
Dengan menyadur tulisan Barth dalam buku TPL1-nya yang mahsyur itu, saya menuliskan beberapa catatan mengenai Teologi Pembebasan sebagai berikut. Saya membagi tulisan ini ke dalam beberapa judul besar untuk membatasi setiap pembahasan.
ALLAH MEMBEBASKAN UMAT-NYA
Seiring dengan dibawanya Israel oleh Allah keluar dari Mesir, itu juga berarti Allah membebaskan mereka dari perbudakan, serta menjadikan mereka umat-Nya sendiri. Pembebasan Israel oleh Allah sendiri terjadi berkat kemenangan yang diperoleh Allah di medan peperangan kala Ia hendak membawa umat Israel keluar dari Mesir, rumah perbudakan itu. Jika ditinjau dari sudut kemiliteran, sungguh kemenangan Allah di medan peperangan tersebut adalah besar, dengan mengingat binasanya seluruh tentara besar orang-orang Mesir dan tak adanya korban-korban di pihak Israel. Namun, kebesarannya sendiri adalah terletak pada perbuatan ajaib Allah yang membebaskan bangsa Israel dari Mesir.
Allah Memerdekakan Umat-Nya
Dalam penjelasan yang lebih dalam, Cristoph Barth menjelaskan bahwa peristiwa ‘keluar dari Mesir’ tidaklah melulu berarti ‘meninggalkan tanah Mesir’, lalu pindah ke negeri lain. Artinya, dalam peristiwa keluar dari Mesir ada pemahaman yang lebih dalam dari sekadar keluar dan pindah dari Mesir ke tempat yang lain. Allah tak hanya memindahkan umat-Nya dari negeri yang satu ke negeri yang lain, tetapi sembari berbuat demikian, Allah juga ‘merubah’ suasana dan keadaan yang ada, dari keadaan ‘perbudakan’ ke keadaan ‘kemerdekaan’. Tentu dengan perubahan keadaan tersebut, Allah berperang untuk menjamin bahwa umat-Nya beroleh kemerdakaan dan tak akan berada dalam perbudakan lagi.
Barth di pihak lain, menyetarakan kata “mengeluarkan” dengan kata “meluputkan”, “menyelamatkan”, “melepaskan”, “membebaskan”, bahkan “menebus” untuk menunjukan karya besar Allah tersebut terhadap umat-Nya Israel, yakni “penebusan” mereka dari tanah Mesir, yang di mana mereka mendapat “penindasan”. Peristiwa pembebasan Israel itu sendiri adalah berlaku secara fakta dan bukan masa lalu belaka. Menurut pengakuan iman Israel sebagaimana dijelaskan oleh Barth, Allah sendirilah yang melakukan pembebasan, sehingga Allah jugalah yang kemudian menjamin tetap-berlakunya fakta pembebasan tersebut. Umat Israel kemudian bersaksi dan mengaku percaya kepada perbuatan Allah dan bahkan meminta dalam doa-Nya agar Allah mengingatkan serta “menyekarangkan” perbuatan-Nya pada tiap-tiap waktu.
Umat Israel Menyaksikan Kebesaran Allah
Setelah orang-orang Israel telah dibebaskan oleh Allah dari perbudakan Mesir, sehingga menjadi merdeka, muncullah kesaksian iman dalam diri orang-orang Israel yang memasyurkan Allah atas perbuatan-Nya yang ajaib itu. Seiring dengan kesaksian tersebut, Israel mendapat gelar sebagai ‘Hamba TUHAN’, sebagaimana disaksikan berikut:“Orang-orang Israel telah dibebaskan, sebab merekalah “umat TUHAN”. Gelar Umat TUHAN ini terjamin tentu karena peran dari karya pembebasan yang dilakukan oleh Allah. Dengan adanya pembebasan yang dilakukan oleh Allah terhadap Israel sehingga mereka keluar dari perbudakan, demikianlah gelar Israel sebagai Umat TUHAN menjadi nyata, seperti yang dijelaskan oleh Barth.
ALLAH MENYATAKAN NAMA-NYA
Dalam berbagai perbuatan-Nya, Allah melaksanakan kehendak-Nya dan rencananya tentang manusia. Dalam perbuatan-Nya tersebut, hal yang cenderung diperhatikan adalah misalnya tentang peristiwa Keluaran adalah bahwa Allah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Namun demikian, dalam penjealasan Barth, dalam perbuatan Allah ada beberapa segi dan pembebasan bangsa Israel adalah salah satunya, dan ada segi lain yang tentunya harus diperhatikan. Sebagaimana pembebasan Israel cenderung lebih diperhatikan, bukan berarti hal itu yang paling utama.
Barth lebih jauh menjelaskan bahwa segi yang perlu diperhatikan berikutnya adalah bahwa saat Allah melakukan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib seperti yang terjadi dalam pembebasan Israel, Ia sedang menyatakan diri-Nya. Ia membuka, menyatakan, memperkenalkan diri-Nya. Penyataan Allah ini dapat dilihat dari cerita tentang para bapa leluhur, yang kepada mereka, Allah telah ‘memperasakan’ atau membuat mereka merasakan kehadiran-Nya di tanah Kanaan, dan kepada mereka juga Ia memperkenalkan diri-Nya. Dengan demikian, segi penyataan Allah dalam setiap perbuatan-Nya jelaslah perlu diperhatikan dan bahkan memang sebagaimana dijelaskan oleh Barth, mempunyai arti dan pengaruh yang istimewa dalam pokok-pokok kesaksian Perjanjian Lama.
Tentang nama Allah yang dinyatakan-Nya kepada Israel yang kemudian menjadi pokok pemujian Israel kepada Allah, dijelaskan secara detil oleh Barth. Ia menjelaskan bahwa dalam kisah Keluaran, tiga benang, yaitu benang Y, E, dan P sama-sama menyaksikan bahwa Allah menyatakan nama-Nya kepada umat-Nya dengan melibatkan Musa. Nama itu sendiri sebagaimana dijelaskan oleh Barth adalah YAHWE . Menurut kesaksian umat Israel Allah sendiri, yang menyatakan nama-Nya YAHWE, melakukan karya yang ajaib, pembebasan umat-Nya dari perbudakan Mesir dengan tujuan “supaya mereka mengetahui bahwa Aku ini YAHWE”.
Peristiwa penyataan nama Allah sendiri merupakan pokok puji-pujian umat Israel. Umat itu merasa bangga oleh karena di tengah-tengah segala bangsa, hanya merekalah yang diperkenankan untuk mengenal nama YAHWE tersebut, hanya merekalah yang ditugaskan untuk memahsyurkannya di seluruh bumi. Namun demikian, sebagaimana diluruskan oleh Barth, perbuatan ajaib yang dilakukan oleh Allah dalam peristiwa Keluaran bukan semata-mata “oleh karena nama-Nya” dan “untuk memperkenalkan nama-Nya”. Hal itu adalah sebagai pokok kepercayaan umat Israel.
Hubungan penyataan nama Allah dengan pokok Keluaran
Dalam penjelasan Barth lebih dalam, kisah tentang penyataan nama Allah di dalam hubungannya dalam pokok Keluaran, belum lengkap. Ada peristiwa yang hendak dibentangkan dan dihubungkan dengannya, yaitu pembebasan dan keluaran orang Israel dari Mesir. Dengan menceritakan dan menghubungkan penyataan nama Allah itu dengan peristiwa pembebasan dan keluaran orang Israel dan Mesir barulah kisah pembebasan mempunyai bentuknya yang sempurna dan serasi sebagai pokok puji-pujian dan kepercayaan umat Israel. Allah sendiri, dengan nama-Nya YAHWE, membebaskan umat-Nya. Ia sendirilah yang melakukan pekerjaan tersebut. Dengan penyataan nama-Nya tersebut telah mempertegas bahwa Ia sendiri hadir, walau di tengah-tengah suasana penindasan dan perbudakan sekalipun.
Asal-Usul Nama Allah
Barth menjelaskan bahwa tidak terdapat pemahaman yang mumpuni untuk menjelaskan tentang asal-usul dan makna serta cara mengucapkan nama YAHWE. Ia mengatakan bahwa boleh jadi segala pengetahuan tentang asal-usul nama tersebut tidak dibutuhkan sesungguhnya untuk “mengenal” nama Allah menurut cara bagaimana ia “harus dikenal”.
Selain itu, Barth mengungkapkan secara tidak langung kekecewaannya tentang penggunaan kata YAHWE yang kemudian oleh Septuaginta diterjemahkan sebagai Tuhan. Memang, sebagaimana dikutip oleh Barth, nabi Yehezkiellah yang menjadi pelopor penggunaan nama Tuhan tersebut, sebab ialah yang mula-mula menempatkan sebutan Tuhan di samping nama YHWH. Umat Yahudi yang sudah terbiasa kemudian menyebut Tuhan, disusul pula dengan penerjemahan naskah Ibrani yang memuat “YHWH” baik nama itu sendiri atau dengan tambahan “Tuhan” (Tuhan YHWH) diterjemahkan oleh Septuaginta sebagai Kurios (Tuhan). Inilah yang disangsikan oleh Barth.
Dengan penggunaan sebutan yang ‘oikumenis’ dan cocok bagi semua bangsa di bumi tersebut di atas, ada krisis yang kemudian dikhawatirkan oleh Barth. Ia menyangsikan bahwa Perjanjian Lama masih dapat memelihara intinya yang khas, terutama tentang penyataan nama Allah – yang menjadi penuh dengan karya pembebasan-Nya, apabila nama YHWH itu dibuat hilang-lenyap, dan demikian pula terutama kitab-kitab Perjanjian Baru tak pernah memakai nama ‘asali Allah’.
ALLAH MENGALAHKAN MESIR
Peristiwa Keluaran Israel dari Mesir yang dilakukan oleh Allah tentu tak terlepas kaitannya dengan sebuah peristiwa kemenangan. Ia telah menang dari pertandingan-pertandingan kuasa antara Dia dengan Firaun serta rakyatnya, malah dengan “para allah orang Mesir” (Kel. 12:12). Allah telah menulahi, memukul, atau mengalahkan bangsa, yang sekian lama menindas umat milik-Nya. Kemenangan Allah inilah, dan kekalahan orang Mesir yang menyebabkan orang Israel menjadi umat TUHAN yang bebas dari perbudakan, merdeka dan kemudian mengabdi kepada TUHAN. Kemenangan inilah yang kemudian yang menjadi dasar untuk semakin terkenalnya nama TUHAN dan kuasa-Nya.
Dalam peristiwa kemanangan Allah atas Mesir, Barth memandang bahwa Israel mengenang orang-orang Mesir sebagai musuhnya, sebagai suatu bangsa pengisap dan penindas yang kejam dan yang suka menginjak-injak keadilan dan perikemanusiaan, terutama terhadap lapisan-lapisan masyarakat lemah. Bagi umat Israel, nama Mesir adalah sama artinya dengan perbudakan dan eksploitasi. Dalam penjelasan Barth selanjutnya, Mesir mewakili bangsa-bangsa asing yang bukan umat TUHAN, kerajaan-kerajaan yang tidak mengenal dan yang tidak mengaku nama TUHAN, malah cenderung memberontak terhadap “Raja segala raja” itu. Dengan sikap yang cenderung tidak mengenal TUHAN, tentulah ‘normal’ jika Mesir yang dipimpin Firau memberontak terhadap-Nya – kendati kemudian TUHAN membatasi gerak-gerik dan rencana mereka sehingga tidak berlaku sekehendak mereka.
Pada akhirnya, dalam peristiwa Keluaran di mana Allah menang atas Firaun yang dengan angkuhnya menolak perintah Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Barth, Allah yang adalah TUHAN sendirilah yang mengemudikan peristiwa-peristiwa yang ada sedemikian rupa, dari keberangkatan orang Israel ditunda-tunda sampai menjemukan. TUHAN sendiri mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21) yang bukan berarti bahwa TUHAN jugalah yang akhirnya ‘bertanggung-jawab’ atas sikap orang Mesir. Firaun sendirilah yang bertanggung-jawab, tetapi TUHAN memakai sikap raja itu menurut kehendak-Nya sendiri. Sikap raja tersebut ditelanjangi oleh untuk kemudian menyatakan maksud-Nya, yaitu untuk memenangkan Israel atas perbudakan Mesir.
ALLAH MEMILIH BANGSA YANG DEGIL
Barth menjelaskan bahwa kisah Keluaran memberi gambaran tentang bangsa yang dipilih Allah sebagai buruh asing yang banyak mengeluh di bawah kuk perbudakan Mesir terutama saat bangsa itu pernah berada di padang gurun, tak lagi di seberang sungai Efrat seperti leluhurnya (Ul. 26:5). Bangsa Israel pernah berada di padang gurun. Dengan dipilihnya Israel oleh Allah, itu berarti bahwa Ia membangkitkan hati dan menyudikan umat itu, sehingga mereka mau menyambut dan menyahuti panggilan yang tertuju kepadanya.
Dalam penjelasan Barth selanjutnya, dinyatakan bahwa adalah suatu kenyataan bahwa dalam cerita-cerita di padang gurun yang dikenal pembaca Alkitab, tidak ditemukan catatan yang menjelaskan tentang bangsa Israel yang penurut, setia, dengar-dengaran dan percaya. Justru, sebaliknya, Israel digambarkan sebagai bangsa yang bersungut-sungut dan cemas, kepala batu dan sombong, degil dan durhaka, kurang sabar dan kurang percaya – berulang-ulang gambaran tersebut ditemui dalam penjelasan Alkitab.
Jika dihubungkan dengan peristiwa saat Allah pertama-tama memilih para bapa leluhur, dapat dipahami bahwa alasan Allah dalam pemilihan-Nya ada di dalam hati-Nya, dan tidakah tergantung pada ‘kedegilan’ atau ‘ketidakdegilan suatu bangsa tertentu. Maka, bila Israel oleh kemanusiaannya bersungut-sungut, tidak percaya, keras kepala, hal itu tidak akan memengaruhi pemilihan Allah atas bangsa IsraelAllah ‘memilih’ dan ‘mengangkat’ umat-Nya serta membangkitkan kerelaan mereka untuk menerima panggilannya dalam suasana gurun.
Kesaksian umat Israel di padang gurun sebagaimana dijelaskan oleh Barth, menunjukkan bahwa Israel, setelah dibebaskan dari kuk perhambaan, dibawa keluar dari tanah Mesir, dipilih, diangkat, dibangkitkan sebagai umat TUHAN – namun ternyata tidak sanggup dan tidak bersedia untuk mengiakan statusnya dan kemuliaannya yang baru. Saat bangsa Israel mulai diperhadapkan kepada kekurangan air dan makanan dan segala ancaman lainnya di padang gurun, Israel segera mulai bersungguh-sungguh mempersalahkan Allah sendiri, memberontak dan tidak percaya serta berulang-ulang mencobai Allah. Namun, sambil mengaku ketidaksetiannya, Israel memuji kesetiaan Allah yang melindungi umat-Nya.
ALLAH MENDUKUNG UMAT-NYA DI PADANG GURUN
Dijelaskan oleh Barth, bahwa Allah tetap memelihara perjanjian-Nya dengan umat-Nya Israel yang memberontak secara berulang-ulang itu. Pemeliharaan Allah bukanlah hanya tanda-tanda pengasihan berupa pertolongan dan perlindungan yang ajaib, tetapi juga tanda-tanda kemurkaan berupa penghukuman dan penarikan tangan perlindungan-Nya. Artinya, ada kalanya Allah dengan berat hati harus menghukum umat yang dikasihi-Nya itu oleh karena kesalahan mereka, bukan karena kehendak Allah sendiri.
Allah memilih umat-Nya, berarti Ia membebaskannya: Ini menjadi kesimpulaan akan perbuatan Allah di Mesir. Kemudian, pada saat di padang gurun, Allah memilih umat-Nya; itu berarti bahwa Ia memeliharanya: “dipagari-dituntun-Nya dia dengan hati-hati (Kel. 15:13), didukung-Nya dan ditanggung-Nya dia “di atas sayap rajawali” (Kel. 19:4) sepanjang waktu.
Barth menjelaskan bahwa Allah menanggung umat-Nya di perjalanan. Hal ini terlihat dari banyak cara yang dilakukan allah untuk memelihara umat-Nya secara ajaib. Israel dijagainya dan dijauhkan, diluputkan dari ancaman maut. Allah memberi air minum kepada umat-Nya yang hampir mati kehausan. Dibimbingnya umat itu sedemikian rupa, sehingga air selalu ada pada saat yang genting, sebanyak yang perlu untuk menghilangkan dahaga. Dengan demikian, tentulah umat Israel sudah binasa, seandainya ia ditinggalkan, diserahkan pada nasibnya di padang gurun, tetapi TUHAN melanjuntkan kesetiaan-Nya, sesuai dengan perjanjian yang diikat-Nya.
Namun demikian, pemeliharaan Israel di padang gurun tidaklah terbatas pada penyediaan minuman dan makanan secara ajaib saja. Beberapa nas menjelaskan bahwa umat tidak kekurangan apa-apa seperti: pakaian serta kasut tak menjadi buruk (Ul. 2:7; 29:5), dan kakipun tidak menjadi bengkak (Ul. 8:4; Neh. 9:21). Suatu unsur tradisi, sebagaimana dijelaskan leh Barth memperlihatkan bahwa pemeliharan umat itu juga terhadap serangan-serangan musuh yang selalu mengancam di padang belantara. TUHAN memenangkan mereka dalam pertarungan melawan orang-orang Amalek di Refidim.
ALLAH MENYERTAI UMAT-NYA
Barth menjelaskan bahwa umat Israel, di sepanjang perjalanannya di padang gurun, disertai, dituntun dan dipimpin oleh TUHAN, bagaikan kawanan domba digiring oleh gembalanya yang baik. Gembala yang baik tentu tak akan meninggal domba-dombanya dalam situasi dan keadaan apapun, terutama saat bahaya datang, misalnya serigala yang mengincar para domba tersebut. Dengan penyertaan TUHAN yang digambarkan sebagai Gembala yang Baik ini, tentulah terjamin keamanan umat di dalam perjalanannya. Pemahaman Israel sebagaimana dijelaskan oleh Barth menunjukkan bahwa penyertaan adalah sebagai rahasia kehadiran TUHAN yang ajaib yang dapat digambarkan dalam dua cara, yaitu kehadiran yang tetap; berupa tiang awan atau api pada siang atau malam hari, dan kehadiran bebas yang menurut perkenaan TUHAN.
Tentang TUHAN yang tidak meninggalkan umat-Nya di padang gurun, itu adalah karena menurut belas kasihannya yang besar (Neh. 9:17, 19). Dalam kitab Bilangan, beberapa nas menjelaskan Israel sebagai umat yang di mana TUHAN berada di tengah-tengahnya (Bil. 11:20; 14:14; 23:21). Artinya, TUHAN berada di tengah kehidupan umat-Nya, di tengah pergumulan umat-Nya, sehingga benarlah, apa yang diperlukan umat-Nya sudah pasti diketahui oleh TUHAN dan sedang dirancangkan-Nya tindakan penyertaan-Nya. Tetapi, memang, ada kalanya orang Israel cenderung sangsi dengan bertanya: “Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?” (Kel. 17:7), dan bahkan Musa memperingkatkan bahwa “TUHAN tidak ada di tengah-tengahmu” (Bil. 14:42). Inilah memang keterbatasan manusia yang tidak dapat secara konsisten mempercayai Allahnya.
Barth menjelaskan bahwa kendati TUHAN tidak mau berjalan di tengah-tengah bangsa Israel oleh karena sifat tegar-tengkuk mereka, TUHAN tidak meninggalkan umat-Nya. Dia ikut berjalan bersama-sama dengan mereka, walaupun bukanlah “di tengah” umat secara harafiah. Dia menyertai umat-Nya menurut perkenaan-Nya sendiri, pada waktu-waktu dan di tempat-tempat yang dipilih-Nya sendiri.
ALLAH MENGANTAR UMAT-NYA KE TEMPAT PERHENTIAN
Sebagaimana dijelaskan oleh Barth, Allah memilih, menanggung (mendukung), menyertai umat-Nya di padang gurun, tentu adalah dengan suatu maksud dan tujuan tertentu. Jika Israel kemudian mengembara dan harus menempuh perjalanan bertahun-tahun, pengembaraan dan perjalanan tersebut tentu memiliki batas dan tujuan. Allah memang menanggung, mendukung, memelihara umat-Nya di padang gurun, tetapi kehidupan mereka tidaklah akan bertahan di padang gurun saja. Semua perbuatan Allah di padang yang tandus tersebut adalah menuju maksud-Nya yang terakhir, yakni hendak ‘membawa’ atau ‘mengantar’ umat-Nya ke tanah Kanaan, yaitu “negeri orang Amori” (Yos. 24:8; Am. 2:10) yang akan diberikan-Nya kepada mereka. Perbuatan Allah yang dimaksudkan itu bukanlah “memimpin” atau “menuntun”, tetapi pengertiannya adalah lebih kepada “memelihara” hingga “membawa sampai ke tujuan”, sehingga umat Israel kemudian sampai, sempat masuk ke tempat yang dituju.
Sembari membimbing umat-Nya di padang gurun, Allah membentuk mereka sebagai suatu bangsa musafir. Umat tidak memiliki kediaman yang tetap karena mereka tidak lagi di Mesir dan menuju Kanaan, tempat perhentian yang disediakan TUHAN. Namun demikian, kendati mereka tidak mempunyai kediaman yang tetap, tidak memiliki tanah dan penghasilan sebagai jaminan hidup, tidak berdaya untuk membela diri terhadap segala ancaman, TUHAN tetap memberikan mereka kepastian untuk berlindung. Ia memastikan umat-Nya terlindungi.
Memang sebagaimana dijelaskan oleh Barth, penyertaan TUHAN kepada umat-Nya yang seakan-akan secara “langsung” memberikan dengan tangan-Nya sendiri air kehidupan kepada umat-Nya, haruslah dinantikan dengan sabar, dengan dahaga dan puasa yang menekan. Kalau TUHAN memang selalu menyertai umat-Nya, maka kepastian tersebut bukan berarti umat dapat merasainya menurut kebutuhannya. Sebagai umat pilihan Allah, orang Israel sedang di tengah jalan menuju tempat perhentian yang telah dijanjikan dan disediakan baginya. Dapat dikatakan bahwa bangsa yang sedang mengembara itu diibaratkan sebagai “bangsa musafir”
ALLAH MENGIKAT PERJANJIAN-NYA DENGAN ISRAEL
Sebelum peristiwa Allah menjadikan Israel, melahirkannya sebagai umat milikNya sendiri telah dahulu terjadi peristiwa pemilihan bapa-bapa leluhur, pembebasan dari kuk perhambaan Mesir, pendukungan umat di Mesir, kini Barth mengarahkan pandangan pembaca buku Teologi PL kepada peristiwa penyataan Allah di Gunung Sinai, yang menurut kesaksian umat Israel, Allah bertindak menghasilkan kelahiran umat Israel. Ia mengikat suatu perjanjian yang abadi dengan mereka. Allah sendirilah yang bertindak di tengah-tengah umat-Nya, yakni untuk mendirikan perjanjian-Nya dengan Israel.
Allah mengikat perjanjian-Nya dengan Israel, berarti Ia bertindak terhadap bangsa itu. Tindakan itu berbentuk semacam upacara, yakni upacara kebaktian. Allah sendiri memimpinnya, dan Ia sendiri menjadi pelaku utama di dalam upacara tersebut. Kendati jemaat memainkan perannya, hal itu semata-mata dalam pengertian bahwa Allah menggerakkan mereka, sehingga turut serta secara sukarela di dalam upacara yang berlangsung demi kehendak dan kewibawaan Allah saja.
Barth menjelaskan, ada tiga acara besar yang merupakan kerangka dari upacara pembentukan perjanjian yang dilakukan oleh Allah di gunung Sinai; pertama Allah menampakkan diri atau dengan cara-cara tertentu memperasakan kehadiran-Nya; kedua, Allah berfirman serta menyatakan perjanjian; dan ketiga, Allah membangkitkan umat-Nya sehingga mereka mengiakan serta menyanggupi peranannya di dalam perjanjian tersebut. Salah satu dai ketiga acara tersebut tak boleh tak ada, artinya upacara pembentukan tersebut ada karena adanya ketiga acara besar tersebut; yang pertama dan yang ketiga menandakan kehadiran dan kesediaan kedua “pihak” yang tersangkut dalam perjanjian tersebut, dan yang kedua memberi rumusan segala syarat tempat didirikannya perjanjian tersebut.
Sudah barang tentu bahwa ketiga acara besar yang diperbuat Allah dalam kerangka upacara pembentukan perjanjian-Nya di gunung Sinai dilakukan oleh Allah sendiri; Ia menggerakkan umat-Nya. Selain mereka hanya menyahuti apa yang difirmankan kepada mereka, dan hanya ikut berbuat apa yang sudah dibuat Allah, namun merek juga ikut serta di dalam perjanjian Allah.
ALLAH MEMBERI HUKUM-HUKUM-NYA
Barth menuliskan bahwa undang-undang Allah atau Hukum Allah yang tertera di dalam kitab-kitab Kejadian, Keluaran, Imamat dan Ulangan adalah sebagai alat pekerjaan Allah dalam rangka meneguhkan perjanjian-Nya. Bahan-bahan mengenai hukum tersebut diatur seluruhya hingga sedemikian rupa di dalam hubungan cerita-cerita mengenai tindakan Allah yang ajaib. Artinya, tindakan Allah yang ajaiblah yang hendak dimahsyurkan melalui bahan-bahan hukum tersebut. Tujuan Allah sendiri dalam memberi segala hukum tersebut adalah untuk menguduskan, membebaskan serta menyatukan Israel sebagai umat-Nya.
Barth kemudian menjelaskan bahwa hukum-hukum Allah tidaklah diatur sebagai penyataan yang berdiri sendiri. Kitab-kitab Perjanjian Lama menempatkan pemberitahuannya di dalam hubungan cerita, yakni cerita tentang pembentukan perjanjian Allah dengan umat-Nya. Hukum-hukum ini menjelaskan perbuatan Allah terhadap Israel, khususnya perbuatan-Nya di gunung Sinai
Barth mengutip beberapa sebutan yang biasa digunakan untuk hukum-hukum Allah. Dalam Alkitab, ditemukan paling sedikit delapan sebutan. Allah berganti-ganti dikatakan memberi suatu “undang-undang” (tora), “ketetapan” (khok), “hukum” (misypat), “perintah” (mitswa) “peraturan” (edut), “firman” (dabar), “sabda” (imra) atau titah (pikkudim). Namun demikian, Barth menjelaskan, kendati sebutan-sebutan ini berlainan artinya, pembaca Alkitab tak boleh membeda-bedakan setiap sebutan yang ada berdasarkan kepentingan-kepentingannya. Sebab tak dapat lagi memberi derajat yang lebih tinggi, yang lebih penting, atau yang tidak lebih penting dari yang lain terhadap salah satu sebutan tersebut.
Allah dalam memberi hukum-Nya yang ada dalam berbagai sebutan adalah tentu untuk menggenapi kelahiran umat-Nya Israel. Dengan diberi-Nya hukum tersebut, itu berarti Allah sendiri hadir di tengah-tengah umat-Nya. Hukum-Nya tersebutlah yang kemudian mempertegas kehendak dan rencana-Nya atas umat-Nya.
Disadur dari buku Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)
0 Komentar