Apa kesan pertama yang muncul di benak Anda ketika melihat foto di atas? Beberapa yang bisa saya prediksi adalah: pertama, Anda kemungkinan akan fokus kepada senyum sang pelayan yang dibagikannya saat ia hendak mengantarkan pesanan minuman kepada pelanggan-pelanggannya. Kedua, Anda kemungkinan akan tertarik pada fakta bahwa sang pelayan begitu cekatan dan terampil meletakkan nampan penuh gelas bir di atas telapak tangannya. Selain itu, Anda juga kemungkinan akan tertarik pada penampilan sang pelayan yang cukup rapi dan bersih, kendati tengah melalukan pekerjaan yang cukup melelahkan.
Kata "camarero" sendiri, seperti yang dimuat dalam judul tulisan ini adalah kata dalam bahasa Spanyol yang dalam bahasa Indonesia berarti "pelayan". Kata pelayan di sini, sejajar dengan kata "waiter", "servant" dalam bahasa Inggris yang pada umumnya dikenakan pada para pekerja yang bertugas melayani tamu-tamu di sebuah restoran, cafe atau bar, seperti yang disarankan oleh gambar deskripsi tulisan ini.
Kurang lebih, kata camarero -- selain kepada para pekerja di restoran, cafe, atau bar, selanjutnya disebut bevearage -- sejatinya layak dikenakan kepada orang-orang yang bekerja di tengah pelayanan-pelayanan Gereja. Kemiripan antara tugas pelayan bevearage dengan pelayan di Gereja dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, keduanya melibatkan peran aktif dari diri pelayan untuk menanyakan apa yang dibutuhkan dan diperlukan oleh para tamu yang hadir; baik di restoran atau pun di Gereja. Kedua, pelayanan, baik di restoran maupun di Gereja mengharuskan keramah-tamahan dari pihak pelayan yang harus dipraktikkan saat melakukan pelayanan masing-masing. Meski memiliki masalah pribadi masing-masing, para pelayan tak boleh menampilkannya.
Di tengah berbagai perkembangan saat ini, terutama yang terjadi di tengah Gereja, para camarero dituntut untuk mempertahankan jati dirinya sebagai hamba Tuhan yang mengabdikan dirinya untuk melayani pekerjaan-pekerjaan pelayanan yang beragam itu. Memang tak bisa dipungkiri, semakin banyak tantangan yang muncul yang mengajak para pelayan untuk mengaktifkan nalurinya dalam mempertahankan ekistensi sebagai servant, atau hamba Tuhan di tengah Gereja-Nya.
Sedikit banyak, tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para pelayan di medan pelayanan tentu dapat secara bersamaan mengancam pelayan sehingga menghardiknya untuk berhenti melayani, namun juga dapat menjadi cambuk motivasi menumbuhkan lebih subur semangat melayani dalam diri pelayan tersebut. Ada dua sumber tantangan yang menurut saya harus kita gali untuk memahami lebih dalam jati diri tugas camarero ini. Sumber internal atau dari diri pelayan itu sendiri dan sumber eksternal atau dari medan pelayanan menjadi dua sumber tantangan yang dibicarakan tadi.
Salah satu bentuk tantangan yang sumbernya dari internal atau dari diri pelayan, sebagaimana ditemukan dalam kasus-kasus umum, misalnya adalah minimnya rasa percaya diri dalam diri seorang pelayan. Sering sekali seorang pelayan, merasa canggung, takut, malu untuk memulai pembicaraan khususnya dengan orang-orang yang didaku jemaat di Gereja yang dilayaninya. Meskipun sudah berlatih di asrama atau seminari selama bertahun-tahun, tidak tertutup kemungkinan jika saat sudah terjun ke lapangan, seorang pelayan menjadi gamang, gugup, nervous berhadapan dengan jemaat lintas kepribadian. Saya menyadari, saya sendiri pun masih bergumul dalam hal ini. Sering sekali saya kesulitan memulai pembicaraan. Sulit memilih topik apa yang dibahas, kata apa yang pertama harus diucapkan, dan sebagainya.
Tantangan internal tersebut di atas, dapat menjadi lebih parah bila didahului atau diimbangi dengan tantangan eksternal berikut. Jemaat yang lintas kepribadian tadi dapat menjadi tantangan eksternal bagi seorang pelayan. Jemaat yang berbeda sikap dan kepribadian harus diperlakukan dengan cara dan pendekatan yang berbeda pula. Sering sekali seorang pelayan yang kesulitan mengawali topik pembicaraan, semakin dipersulit saat diperhadapkan dengan jemaat yang cenderung pendiam, tidak banyak bicara. Atau dalam kasus lain, seorang pelayan yang terlalu aktif bicara, bisa menerima image yang kurang berkenan dari jemaat yang lebih menghendaki ketenangan dan keheningan.
Tawaran saya dalam tulisan ini adalah, memang sejatinya pelayan atau camarero inilah yang harus mengalahkan dirinya sendiri. Sebagai hamba, naposo yang diutus oleh Allah, ia memang harus memikul salibnya. Memberitakan Injil-Nya. Memberitakan injil, selain melalui perbuatan nyata, tentu secara praktiknya adalah melalui pembicaraan dan diskusi-diskusi dengan orang-orang banyak. Mau tak mau, sesuai tuntutan panggilan, seorang camarero haruslah mampu meng-overcome atau menaklukkan tantangan itu, terlebih dan terlebih dahulu tantangan internal atau tantangan yang datang dari dalam dirinya sendiri.
Memang tidak semua orang adalah pembicara yang aktif. Tetapi, bukan berarti ada seseorang yang tidak bisa berbicara sama sekali, selagi able secara fisik dan psikis. Pembicaraan dengan jemaat memang menjadi salah satu hal yang mutlak dilakukan, terlepas dari mampunya seorang pelayan menyelipkan candaan di tengah pembicaraan atau tidak. Yang pasti, ia harus menghadirkan dirinya di tengah jemaat, dan membawa Injil Allah bersamanya di tempat itu, baik melalui perkataannya di tengah jemaat secara langsung (melalui ceramah, khotbah) maupun melalui sikap, perbuatan, perkataannya kepada orang lain yang menjadi teladan bagi jemaat.
Seperti camarero yang melayani di bar, resto atau cafe dengan full-senyum, begitu pulalah harusnya pelayan Gereja meninggalkan semua latar belakangnya, menjumpai jemaat Allah dengan penuh semangat, menyaksikan perbuatan-Nya di tengah jemaat itu. Itu artinya, tak ada lagi tantangan, baik internal maupun eksternal yang boleh menghambat tersampaikannya Injil. Saat ini, hanya persoalan mau atau tidaknya, bersediakah atau tidak seorang pelayan mengalahkan tantangan itu demi pelayanan pekabaran Injil yang telah menjadi motivasi baginya sejak saat ia mulai hidup di asrama seminari.
0 Komentar