Harga BBM Naik, Semua Ikut Naik?

Per 3 September lalu Pertamina resmi menaikkan harga berbagai jenis Bahan Bakar Minyak (BBM). Mulai dari Pertalite, Pertamax, Solar, Dexlite dan jenis lainnya mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kenaikan yang paling kuberi perhatian adalah pada jenis Pertalite, sebagai jenis BBM yang paling sering kugunakan. Dari harga semula Rp7.650, harga setelah kenaikan menjadi Rp10.000 per liternya. Terjadi kenaikan sebesar Rp2.350.

Kenaikan ini tentu memberi pengaruh cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat lintas profesi. Harga barang dagangan yang kita temukan di berbagai tempat tentu akan dengan sendirinya turut mengalami kenaikan. Selagi barang-barang yang kita temukan di pasar, swalayan, toko itu didistribusikan dengan angkutan yang memerlukan bahan bakar minyak, tentu akan ada alasan argumentatif untuk menaikkan harganya bukan?

Tapi, satu hal yang mendapat fokus khusus dari saya dalam kenaikan harga BBM ini adalah persoalan dalam kalimat yang saya perdebatkan sendiri dalam otak saya, sebagai berikut: "Jika harga-harga barang, khususnya yang dihasilkan oleh para petani kita dinaikkan harganya oleh para pedagang -- yang mendapatkannya dari para petani -- apakah para pedagang tersebut juga menerima kenaikan harga dari petani yang menjual barang tersebut kepada mereka?

Berbagai argumen saling menyerang di pikiran saya. Ada yang berpihak kepada petani, ada pula yang tidak. Argumen yang memihak berujar kira-kira demikian: Bila pedagang memiliki hak menaikkan harga sebagai dampak domino dari kenaikan BBM, petani juga memiliki hak, sebab bagaimanapun biaya perawatan yang mereka habiskan sebelum panen turut membengkak oleh karena kenaikan harga yang juga terjadi pada bahan-bahan pertanian, seperti pupuk, racun hama, biaya traktor (yang juga butuh BBM) dan sebagainya. Apalagi dalam konteks daerah Toba saat ini, masyarakat begitu mengeluh perihal harga pupuk yang semakin melambung.

Satu argumen yang tidak memihak petani tidak begitu kuat memberontak dalam pikiran saya. Saya menyadari, bahwa selama ini, yang saya perhatikan dalam lingkup wilayah Toba di mana saya tinggal, terutama yang saya amati saat setiap kami memanen sawah kami, para pedaganglah yang selalu turun, jemput bola membeli padi hasil panen para petani. Kami sendiri, sudah berlangganan dengan semacam pengepul atau dalam Bahasa Batak disebut 'toke'. Toke ini sendirilah yang datang menjemput hasil panen kami. 

Di tengah naiknya harga BBM ini, tentu biaya operasional, dan biaya perjalanan toke ini setiap menjemput hasil panen para petani tentu akan meningkat. Apalagi yang saya perhatikan di daerah saya, sering sekali toke ini membantu petani dengan membayarkan biaya traktor untuk panen mereka yang kebetulan saat panen tidak memiliki simpanan uang yang cukup. Oh ya. Di daerah Laguboti, Porsea, Balige dan di sekitarnya di Toba, saat panen tiba, mayoritas petani sudah menggunakan jasa traktor atau yang akrab disebut 'odongodong' untuk memanen lahan mereka.

Titik temu terbaik yang saya lihat adalah mau tidak mau, harga padi dari petani memang harus dinaikkan. Ini adalah hak petani. Mereka juga kewalahan dengan kenaikan harga ini. Ini boleh disiasati dengan menaikkan harga tidak terlalu tinggi, agar para toke juga memiliki ruang untuk memberi kenaikan harga pada "dagangan" yang mereka kepul dari para petani.

Ya, memang pilihan yang paling terbaik daripada yang terbaik adalah mencegah kenaikan harga BBM ini, alih-alih memberikan bantuan tunai yang menurut saya seumpama memberi dua ekor ikan pada orang yang kelaparan. Hanya cukup untuk makan satu hari. Besoknya makan apa? Dalam hal kenaikan ini, saya kurang setuju dengan pemerintah. Semoga jika harganya sudah turun kembali nanti, harga-harga pun akan ikut menyesuaikan. Jangan sampai tetap nyaman di harga yang sudah dinaikkan itu. :')

0 Komentar