Menyikapi permasalahan Dairi yang kini seputar hadirnya PT DPM, aku menulis kata-kata dan kalimat ini, sembari mengingat Hari Bumi beberapa waktu lalu.
Kau Bumi Dairiku,
Pemberian Tuhanku yang baik itu.
Darimu ku bisa menyekolahkan anakku. Kuusahakan pertanianku,
di tanahmu yang subur itu.
Dari tanahmu kunikmati hasil kebunku. Baiknya engkau dan Penciptamu kepadaku.
Di atas tanahmu,
aku dan temanku di desa
bergotong royong mengusahakanmu.
Kau pun menumbuhkan berbagai tanaman yang bisa kuuangkan sehingga bisa menghidupi aku dan keluargaku.
Kopi yang nikmat, Durian yang legit,
Gambir yang bisa kubuat menjadi bubuk teh kau berikan, O Bumi Dairiku.
Syukur pada Tuhanku yang memberimu.
Hai, Bumi Dairiku.
Di atas tanahmu yang luas itu,
anak-anakku menikmati waktu bermainnya
Gedung sekolah tempat mereka belajar, berdiri di atasmu. Kau menopangnya
Pepohonan rindang tumbuh subur
tempat mereka berteduh di kala hujan
Buah-buahan segar yang mereka petik dan makan mengganjal perut yang lesu, tersedia melimpah dari tanahmu.
Tak hanya kami makan,
buahan-buahan hasil pertanian kami,
bisa kami jual dan memberi kami dan anak-anak kami penghidupan yang layak.
Bila ku saksikan, satu buah yang kau tumbuhkan begitu tersiar.
Itulah durian.
Yang dicari orang-orang dari perantauan. Itulah yang kami makan dan memberi kami penghidupan.
O Bumi Dairiku.
Syukurku pada Tuhanku,
yang memberi kami kepercayaan untuk menatalayanimu.
Patutlah kami tidak mengeksploitasimu. Sebab melaluimu,
Tuhanku merawat hidupku.
Harusnya ku mengucap syukur,
dengan memeliharamu, bukan malah menjarahmu.
Ingatkan kami Bumi Dairiku,
bahwa Tuhan menyuruh kami menjagamu,
bukan merusakmu.
Ingatkan kami, bahwa kami ada,
bukan untuk merajaimu.
Sebaliknya,
kami harus menghamba di hadapanmu. Melayanimu.
Kurang baikkah engkau,
sehingga kami melanggar perintah Tuhan kami?
Tidak. Kami saja yang maruk.
Ya, kami manusia ini.
Ingin mengeruk lebih dalam hasilmu.
Lebih dari apa yang kami butuhkan.
Justru hanya seturut dengan apa yang kami inginkan. Hingga akibatnya ialah kerusakan
Bilapun aku yang membacakan ini,
tidak ikut menjarahmu secara masif,
mereka yang melakukannya,
adalah bagian dariku.
Bagian dari kemanusiaan itu.
Dan kusadar kami pun kerap lalai dalam menjagamu.
Kerap kami memaksamu untuk menumbuhkan tunas-tunas baru tanpa menutrisimu.
O Dairiku.
Barangkali engkau memperhatikan.
Aku dan dan mereka terlibat pertikaian. Seharusnya kami bersatu menghadapi perusakmu dan melawan.
Namun kini, malah kami yang berlawanan. Perpecahan tak terhindarkan.
Itu semua karena kami beradu kepentingan.
Hingga tugas mulia untuk menjagamu malah kami lupakan, tak hanya terlupakan.
Ku merenung ya Bumiku.
Dairiku.
Tanah yang diberikan Tuhanku.
Sabatmu haruslah kuingat.
Kau pun butuh istirahat.
Biar jangan hanya kami yang secara berlebihan merasakan nikmat.
Biarlah kami cukup merasakan berkat.
Tak perlu kami mengikuti syawat.
Ya Dairiku.
Syukurku pada Allahku.
Atasmu ku bersyukur.
Melaluimu Allahku menghidupiku.
Biarlah aku menatalayanimu.
Bukan memperbudakmu.
Untuk pemerintah kami,
yang memberi telinga untuk mendengarkan.
Berpihaklah kepada Bumi Dairi.
Yang mengeruk hasilnya secara masif dan berlebihan harusnya kalian lawan,
seperti yang kami lakukan.
Bukan malah kalian beri ruangan. Dengarlah kami di sini yang melakukan perjuangan dan pertentangan.
Izin untuk perusak itu — entah untuk alasan apapun — malah kalian keluarkan.
Kami pun menggugat,
sebagai ketaatan kami,
kepada suara yang menyuruh kami untuk menjaga tanah yang diberikan Tuhan yang Maha Baik itu bagi kami.
Berpihaklah kepada kami,
wahai pemerintah kami.
Dengarlah doa dan curahan hati kami.
Ya Allah Tuhan yang membangkitkan bagi kami pemerintah yang arif dan bijaksana.
Seminari Sipoholon, 4 Juni 2023
0 Komentar