Ada sejumlah 613 mitzvot, atau perintah yang Allah berikan kepada umut Israel untuk dilaksanakan dengan penuh kepatuhan. Menyusul hal itu, ada 10 titah yang disampaikan oleh Allah kepada bangsa Israel di Gunung Sinai melalui hamba-Nya Musa. Barangkali, berangkat dari ingatan akan hal itulah, sehingga seorang ahli Taurat memberanikan diri untuk menanyakan kepada Yesus tentang hukum yang paling utama sebagaimana dikisahkan dalam Markus 12:28-34.
Terhadap pertanyaan ahli Taurat tersebut di atas, Yesus memberi jawab demikian: (1) "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu." (ay.29-30), (2) "Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini." (ay.31)
Ahli Taurat yang mendengar jawaban Yesus sesuai dengan yang dijelaskan di atas, memuji jawaban-Nya tersebut seraya membenarkannya. Yesus pun sebaliknya menilai kebijaksanaan ahli Taurat tersebut seraya menyebut bahwa ia tak jauh dari Kerajaan Allah (ay.34)
Jika membandingkan jawaban Yesus dengan 10 titah yang menjadi warisan budaya Israel kepada kekristenan yang senantiasa dirawat, kurang lebih jawaban Yesus adalah gambaran tentang pembagian 10 titah tersebut.
Mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan ada dalam pembagian pertama 10 titah, yakni dari titah pertama sampai titah keempat. Seruan untuk memuji Allah yang esa serta menguduskan hari Sabat dan larangan untuk berhala serta menyebut nama Tuhan sembarangan adalah bentuk Kasih terhadap Allah yang telah terlebih dahulu mengasihi umat-Nya.
Mengasihi sesama manusia selayaknya diri sendiri ada dalam pembagian kedua 10 titah, yakni dari titah kelima sampai titah kesepuluh. Tindakan mengasihi sebagaimana digambarkan dalam pembagian kedua ke-10 titah ini pun seperti "didesain sedemikian rupa" sehingga mengasihi sesama manusia yang pertama sekali harus dilakukan adalah kepada orangtua, sebagai sesama manusia yang pertama sekali kita kenal di dunia, lantas kepada orang lain di sekeliling kita.
Menurut penjelasan Yesus kepada ahli Taurat, tidak ada hukum yang lebih utama dari kedua hukum tersebut di atas (ay.31). Jika merujuk kepada sumber lain seperti yang ditulis oleh Injil Matius misalnya, kedua hukum tersebut di atas malah dijelaskan sebagai dua hal yang sama (bdk: Bahasa Batak: dos = sama, serupa jenisnya, setara), (Mat.22:39). Pada Injil Markus, sisi kesetaraan ini tidak dijelaskan. Artinya kesetaraan ini bermakna bahwa kedua hukum tersebut harus dilakukan secara bersama-sama sebab nilai dan kedudukannya adalah sama.
Jika hendak mengasihi Allah, mengasihi sesama manusia juga harus secara bersamaan dilakukan, begitu juga jika sebaliknya. Dan tidak ada hukum yang lebih utama dari kedua hukum tersebut. Adalah wajib hukumnya melakukan kedua hukum tersebut secara bersamaan jika memakai yang ditulis oleh Injil Matius sebagai masukan.
Bahkan, Yohanes dalam suratnya kurang lebih berkata bahwa barangsiapa yang menyebut dirinya mengasihi Allah tetapi ia membenci saudaranya, ia adalah seorang pendusta (1 Yoh. 4:20). Jika mengubah kalimat berkesan negatif tersebut menjadi berkesan positif, maka: orang yang jujur adalah orang yang mengasihi Allah, juga mengasihi sesamanya manusia.
Di tengah hidup dengan beragam orang dan beragam kepentingan, tindakan mengasihi menemui tantangannya sendiri. Kerap kali kasih sesama manusia didorong oleh kasih sesama manusia itu sendiri, bukan oleh kasih Allah. Artinya, jika seseorang tidak mendapat kasih dari sesamanya terlebih dahulu, ia cenderung enggan memulai mengasihi terlebih dahulu. Itulah mengapa pergeseran motivasi mengasihi perlu terjadi. Bahwa lebih baik jika kasih Allah yang tanpa pamrih mendorong umat manusia untuk mengasihi.
Kasih Allah yang berpuncak pada pengorbanan Yesus di kayu salib untuk menebus dosa manusia, adalah kasih Allah yang sejatinya menjadi pioner bagi kasih di antara manusia ciptaan Allah. Sebagaimana digambarkan dalam bentuk salib, di mana Allah yang bertahta tinggi di kerajaan surga, terlebih dahulu mengasihi manusia, turun ke bumi melalui wujud Anak-Nya Yesus Kristus (bagian vertikal salib), lantas manusia meneruskan kasih Allah itu terhadap sesamanya manusia (bagian horizontal) salib.
Oleh sebab itu, marilah meneruskan kasih Allah yang trinitas itu, bukan berusaha menciptakan kasih kita sendiri, sehingga bisa saja kadang kita terlena, atau kadang memilih-milih untuk mengasihi. Kasih Allah yang mengundang sebanyak-banyaknya orang itulah yang sejatinya kita teruskan, kita masuki, sehingga kita semakin dimampukan untuk mengasihi orang dari berbagai latar belakang, bahkan dengan mereka yang bukan seagama, satu kepercayaan, satu iman dengan kita sekalipun.
Selamat Hari Minggu! Mari mengasihi Tuhan yang sudah terlebih dahulu mengasihi kita dan secara bersamaan juga mengasihi sesama manusia sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri!
0 Komentar